3 Kabar Miring yang Iringi Upaya Divestasi Freeport oleh RI

3 Kabar Miring yang Iringi Upaya Divestasi Freeport oleh RI

Moch Prima Fauzi - detikFinance
Sabtu, 22 Des 2018 12:45 WIB
Foto: Ardhi Suryadhi
Jakarta - Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) telah berhasil menjadi pengendali PT Freeport Indonesia (PTFI) dari perusahaan Amerika Serikat (AS) Freeport McMoRan. Inalum mengakuisisi saham PTFI sebesar 51% senilai Rp 56 triliun.

Namun dalam proses akuisisinya, ada beberapa kabar miring yang menyertainya. Berikut ini di antaranya.

Tambang PTFI Digadaikan ke Asing
Terkait hal ini, ada yang menyatakan kalau Inalum gagal melunasi obligasi global untuk membeli PTFI, tambang tersebut akan jatuh ke investor asing.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu, menurut dokumen Inalum tidak ada aset atau saham Inalum dan anak usaha perusahaan, termasuk PTFI, yang digadaikan untuk mendapatkan US$ 4 miliar. Obligasi tersebut terdiri atas 4 seri, dengan tenor terpendek 3 tahun dan paling panjang 30 tahun. Kupon obligasi ini ditetapkan fixed pada rata-rata 5,991%.

Setiap tahunnya, rata-rata Inalum hanya diwajibkan membayar kupon senilai Rp 1,7 triliun. Dengan pendapatan setiap tahun diprediksi sekitar Rp 60 triliun, Inalum memiliki kemampuan yang besar untuk membayar kupon tersebut.

Jika meminjam bank, ada risiko bunga semakin mahal dan harus membayar pokok cicilan. Sehingga, apa yang dibayar Inalum bisa jauh lebih besar dari Rp 1,7 triliun. Bank juga mewajibkan adanya asset atau saham yang harus digadaikan.


Inalum Membeli Tanah Air Sendiri
Masih berdasarkan dokumen Inalum, dalam hal ini yang dibeli adalah perusahaan, bukan cadangan yang dimiliki oleh PTFI. PTFI sudah mengantongi izin komersil untuk menambang di Grasberg sejak 51 tahun yang lalu. Pemerintah juga tersandera oleh kontrak PTFI yang dibuat di zaman Soeharto sehingga ketika kontrak berakhir maka hanya ada dua opsi yaitu diperpanjang hingga 2041 atau pemerintah digugat di pengadilan internasional.

Sementara itu tidak ada jaminan pemerintah akan menang di pengadilan tersebut. Jika kalah dalam pengadilan maka pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi senilai puluhan triliun rupiah. Berdasarkan dokumen tersebut, kontrak Freeport tidak sama dengan apa yang berlaku di sektor minyak dan gas (migas), yang jika konsesi berakhir maka akan secara otomatis dimiliki pemerintah dan dikelola oleh Pertamina. Dalam peralihan di sektor migas pemerintah tidak mengeluarkan uang sepeser pun karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah setelah sebelumnya membayar kontraktor lewat skema cost recovery senilai miliaran dollar AS per tahunnya.

Nilai Akuisisi Terlalu Mahal
Inalum membayar US$ 3,85 miliar atau Rp 56 triliun untuk meningkatkan kepemilikan di PTFI dari 9,36% menjadi 51,2%. Sementara dalam dokumen disebutkan kalau kekayaan tambang senilai Rp 2.400 triliun dan laba bersih sebesar Rp 29 triliun per tahun setelah 2022.

Untuk diketahui, pada tahun 2017, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) pernah melakukan proyeksi harga pada dan hasilnya lebih mahal. Menurut studi IAGI, harga untuk menjadi mayoritas diperkirakan sebesar US$ 4,5 miliar atau Rp 65 triliun. Pada tahun 2015, Freeport McMoran mengajukan harga US$ 12,15 miliar untuk meningkatkan kepemilikan Indonesia menjadi 51% kepada Kementerian ESDM, yang kemudian ditawar menjadi US$ 4,5 miliar. Angka hasil valuasi konsultan keuangan Morgan Stanley di awal tahun adalah US$ 4,67 miliar.

(prf/hns)

Hide Ads