Karenanya, warga terpaksa masih harus menggunakan lampu pelita untuk membantu penerangan. Padahal, daya meteran listrik mereka paling minim 900 kWh.
"Sudah hampir 10 tahun kondisinya begini. Listrik tidak stabil. Jangankan untuk elektronik, lampu 7 watt saja kondisinya redup atau bahkan tak menyala. Di sini itu memang ada listrik, tapi kami tetap kegelapan saat malam," kata seorang warga, Mappiare saat ditemui beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ironisnya, meski mereka tidak mendapatkan pelayanan standar dari PLN, mereka pun harus membayar biaya, sama seperti pelanggan lain yang pasokan listriknya normal.
![]() |
Mulai dari Rp 70 ribu hingga Rp 100 ribu setiap bulannya untuk pasca bayar. Sementara bagi pelanggan pra bayar, mereka memilih untuk tidak menghidupkan listriknya karena merasa dirugikan.
"Elektronik di sini tidak ada yang bertahan. Sementara kita membayar listrik sama dengan yang lain. Ada beberapa warga yang pakai listrik voucher itu, justru sengaja tidak hidupkan lagi listriknya karena merasa rugi," lanjutnya.
Dampak pasokan listrik yang tidak stabil itu, paling berat dirasakan bagi anak sekolah. Saat malam hari, mereka terpaksa belajar menggunakan bantuan pelita, lantaran cahaya bohlam, justru membuat penglihatan mereka sangat terganggu. Mereka pun lebih banyak yang belajar saat sore hari sebelum malam tiba.
"Kalau pakai lampu listrik malah mata jadi sakit karena hidup mati begitu. Untuk membaca atau menulis memang cahaya listrik tidak bisa dipakai melihat. Makanya kami pakai lampu minyak kalau terpaksa harus belajar malam. Tapi kalau tidak, lebih banyak belajar sore," kata seorang siswa kelas 4 SD, Muh Akil.
Kondisi ini, sudah berkali-kali disampaikan oleh warga ke pihak kepala dusun dan kepala desa setempat. Namun, hingga kini belum juga ada perbaikan dari petugas PLN. Warga berharap, pemerintah bisa serius menangani permasalahan warga yang telah lama mereka rasakan itu. Satu hal, agar anak-anak mereka bisa belajar lebih baik.
![]() |