Fakta-fakta Abu Batu Bara Dihapus dari Daftar Limbah Berbahaya

Fakta-fakta Abu Batu Bara Dihapus dari Daftar Limbah Berbahaya

Soraya Novika - detikFinance
Sabtu, 13 Mar 2021 10:30 WIB
Harga batu bara belum beranjak jauh dari level terendahnya. Selasa (3/11) harga batubara kontrak pengiriman Desember 2015 di ICE Futures Exchange bergerak flat dibanding sehari sebelumnya di US$ 53,15 per metrik ton. Rachman Haryanto/detikcom.
Ilustrasi/Foto: Rachman Haryanto
Jakarta -

Abu batu bara atau yang biasa dikenal dengan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dihapus dalam daftar jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3).

Penghapusan FABA dari jenis limbah B3 itu ditegaskan dalam lampiran XIV Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Dalam PP turunan UU Cipta kerja itu, kedua jenis limbah itu ditulis sebagai non limbah B3.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia pun bernapas lega. Setelah bertahun-tahun memperjuangkan agar kedua limbah tersebut keluar dari daftar limbah B3, akhirnya terwujud juga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebab, menurut Hendra sudah seharusnya kedua jenis abu batu bara tadi dihapus dari daftar limbah berbahaya. Sebab, kedua abu batu bara itu punya segudang manfaat bagi dunia usaha bahkan untuk negara.

"Kita menyambut baik, aspirasi ini sudah disampaikan sudah lama sekali, mungkin lebih dari 10 tahun lalu, sudah lama sekali, pada dasarnya, limbah-limbah pertambangan itu tidak semua dapat dikategorikan sebagai limbah B3, bahkan best practice di banyak negara maju itu dah digunakan jadi bahan dasar konstruksi," ujar Hendra kepada detikcom, Jumat (12/3/2021).

ADVERTISEMENT

Dari segi dunia usaha, abu batu bara itu bisa digunakan sebagai bahan konstruksi seperti pengeras jalan, jembatan, dan bahan baku material lainnya.

"FABA digunakan di banyak perusahaan ya, bahkan ribuan malah. APINDO pernah membuat suatu kajian itu diperkirakan 10-15 juta ton per tahun, sementara itu limbahnya dikategorikan limbah B3, itu tentu memberatkan bagi perusahaan untuk pengolahan limbah," katanya.

"Jadi dengan bisa dikeluarkan dari limbah B3 bagi perusahaannya juga untuk bisa memanfaatkan limbah tersebut untuk bahan konstruksi, material dan lain-lain," sambungnya.

Ia merinci, pemanfaatan FABA di Indonesia masih tergolong sangat kecil yakni hanya 0-0,96% untuk fly ash dan 0,05-1,98% untuk bottom ash. Sementara, di negara-negara lainnya, rata-rata sudah memanfaatkan 44% fly ash dan 86% bottom ash.

"Jadi jauh sekali kita tertinggal, padahal ini banyak sekali manfaatnya," tuturnya.

Ia mencontohkan pemanfaatan FABA di negara maju. Fukushima, Jepang misalnya mampu memanfaatkan FABA sebagai bendungan anti-tsunami.

"Jadi kalau kita bisa manfaatkan juga, tentu bisa meringankan beban perusahaan dan tentu bagi negara," ucapnya.

Manfaat lainnya adalah bisa menghemat biaya operasional pembangkit listrik.

"Dari segi pembangkit listriknya bisa lebih menghemat operasional pembangkit listrik jadi bisa mengurangi subsidi PLN," imbuhnya.

Pengusaha tepis anggapan abu batu bara berbahaya. Klik halaman berikutnya.

Simak juga 'Rejeki Limbah Batu Bara Bukit Sunur di Muara Pantai Sungai Bengkulu':

[Gambas:Video 20detik]



Keputusan penghapusan FABA dari daftar limbah B3 ditentang, salah satunya oleh LSM Indonesia Center for Environmental Law (ICEL). Dalam keterangan tertulisnya, ICEL menilai penghapusan abu batu bara dalam daftar limbah B3 bisa memicu pencemaran sampai mengancam kesehatan warga yang tinggal dekat dengan pabrik yang tidak mengelola FABA. ICEL pun mendorong pemerintah membatalkan pelonggaran aturan pengolahan limbah tadi.

Hendra menolak anggapan itu. Menurutnya, apapun limbah tentu ada dampaknya, namun perlu ada uji karakteristik abu batu bara untuk mengukur seberapa besar dampak bahaya dari jenis limbah itu.

"Tentu semua limbah apapun yang dihasilkan pasti ada dampaknya bukan limbah tambang saja, limbah di sungai, limbah rumah tangga pun juga, bahkan masker yang kita pakai juga, cuma kalau bicara mengenai FABA dan limbah-limbah tambang harus ada ujinya dulu, uji toksikologinya," ujar Hendra.

Menurut Hendra, sebelumnya APINDO pernah mengeluarkan rilis yang menunjukkan hasil uji terhadap FABA.

Dari hasil uji karakteristik mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius, dan/atau korosif, uji toksikologi Lethal Dose-50 (LD50), serta Toxicity Leaching Procedure (TCLP) dari beberapa uji petik kegiatan industri menunjukkan bahwa abu batu bara masih memenuhi mutu/ambang batas persyaratan yang tercantum dalam PP No. 101 Tahun 2014, sehingga seharusnya, FABA dikategorikan sebagai limbah non-B3, seperti halnya di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, China, India, Jepang, dan Vietnam.

"Menurut best practice itu di beberapa negara, Jepang, Amerika bahkan di Vietnam pun juga itu FABA itu sudah tidak dikategorikan limbah B3 dan sudah banyak dimanfaatkan sebagai bahan jalan, campuran semen, jembatan, timbunan reklamasi, dan lain-lain," katanya.

Kuncinya, menurut Hendra adalah pengolahan abu batu bara dengan maksimal. Bila perusahaan dan negara bisa memanfaatkan limbah itu dengan baik, maka yang ditakutkan masyarakat yaitu abu batu bara bakal bertebaran lebih banyak dari sebelumnya, tidak akan terjadi.

"Orang kan menganggap ini debu batu bara berterbangan ke mana-mana, itu kan kalau bisa dimanfaatkan tidak akan begitu, dan perusahaan-perusahaan juga punya standar pengelolaan limbah," timpalnya.


Hide Ads