Ketua Badan Anggaran (Banggar) Said Abdullah kembali menyinggung mengenai skema penyaluran subsidi energi yang belum tepat sasaran. Hal ini diungkapkannya saat membuka rapat dengar pendapat (RDP) tentang formulasi subsidi dan kompensasi yang tepat sasaran bagi masyarakat miskin dan rentan miskin.
Rapat tersebut dilakukan antara Banggar DPR dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, dan beberapa BUMN seperti PLN, Pertamina, dan Pupuk Indonesia.
Dia meminta pemerintah harus mengubah skema penyaluran subsidi menjadi langsung kepada orang baik pada listrik dan LPG, dari yang saat ini skemanya kepada komoditi atau barang. Serta data penerima harus disesuaikan dengan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) milik Kementerian Sosial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seharusnya dilakukan pencocokan data dengan Kemensos di DTKS," kata Said, Rabu (7/4/2021).
Dia menyebut terdapat 23,9 juta pelanggan 450 VA yang menerima subsidi listrik, sedangkan dalam DTKS mencatat hanya 12,6 juta yang berhak menerima sehingga ada 11,3 juta pelanggan yang dapat dikeluarkan dari daftar penerima subsidi.
Jika data tersebut sudah diketahui, kata Said, seharusnya pemerintah bisa menghemat anggaran subsidi dan bisa dialokasikan kepada sektor lain yang jauh lebih produktif dan memiliki dampak terhadap perekonomian nasional.
"Karena tugas fiskal itu mengurai kemiskinan dan pengangguran, dan meningkatkan pendapatan," jelasnya.
Selain subsidi, kata Said, pemerintah juga mengalokasikan anggaran kompensasi yang cukup besar untuk para pelanggan 450VA dan 900VA. Kompensasi ini seharusnya diberikan kepada kedua pelanggan tersebut khususnya di tengah pandemi COVID-19.
Namun dalam pelaksanaannya, pemberian kompensasi ini tidak tepat sasaran lantaran banyak masyarakat yang mampu juga menikmatinya.
"Jadi subsidinya ke depan harus fix, tetapkan saja fix, tidak bisa lagi kita menyesuaikan," ujarnya.
Sementara untuk subsidi LPG, Said mengungkapkan anggarannya selalu naik setiap tahun. Hal tersebut dikarenakan penerapan pemberian subsidi yang masih menggunakan skema terbuka. Padahal berdasarkan aturan yang berlaku harus dilakukan secara tertutup.
Dia mengaku pemerintah juga harus mencocokkan data penerima subsidi LPG mengacu pada DTKS Kementerian Sosial.
"Anggota Banggar sejak 2015 pernah mengarahkan tertutup, karena itu perintah UU. Tapi pemerintah mencoba di Kalimantan, pemerintah pilot project tapi subsidi naik terus, pada satu titik menjadi beban fiskal," katanya.
Dia pun meminta pemerintah segera mengubah skema penyaluran subsidi LPG langsung kepada orang dan tidak lagi kepada komoditi. Bahkan untuk pencairannya dibutuhkan sistem yang lebih canggih misalnya dengan sidik jari atau biometrik.
"Keinginan kita mempertajam subsidi ini supaya tepat sasaran dan mempermudah akses masyarakat mendapat subsidi itu," ungkapnya.
Lihat juga Video: Gas Elpiji 'Melon' Langka di Parepare, Warga Rela Antre agar Kebagian