'Putra Petir' Buka-bukaan Kisah Pahit Proyek Mobil Listrik

'Putra Petir' Buka-bukaan Kisah Pahit Proyek Mobil Listrik

Tim detikcom - detikFinance
Jumat, 17 Sep 2021 22:20 WIB
Baterai mobil listrik buatan Dasep Ahmadi
Ricky Elson/Foto: Ridwan Arifin
Jakarta -

Indonesia kini sedang mendorong pengembangan mobil listrik. Bahkan pabrik mobil listrik Hyundai di Indonesia akan mulai produksi di 2022 dan pabrik baterai mobil listrik mulai dibangun pada Rabu (15/9).

Namun, sebenarnya Indonesia sudah lama memimpikan mobil listrik. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia mulai mengembangkan mobil listrik nasional.

Sosok yang santer terdengar adalah Ricky Elson yang dijuluki 'Putra Petir', dan Dasep Ahmadi. Sayang nasib keduanya tak mulus dan berakhir tak seperti yang diharapkan. Ricky Elson pun kembali menguak luka lama yang dialami oleh Dasep yang harus berakhir di penjara.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sebenarnya pengembangan mobil listrik ini secara resminya itu dimulai pada tanggal 25 Mei 2012 secara negara. Sebelumnya tentu saja di LIPI, di BPPT, pengembangan kendaraan listrik ini sudah menjadi objek penelitian ataupun di beberapa universitas. Bahkan para pendahulu juga pernah melakukan pengembangan kendaraan listrik ini di BUMN-BUMN lainnya," tuturnya melalui live Instagram, yang videonya dikutip, Jumat (17/9/2021).

"Namun kegiatan pengembangan kendaraan listrik ini atau kendaraan mobil listrik ini baru mulai maraknya itu setelah rapat di Gedung Agung yang dipimpin sendiri oleh Bapak Presiden SBY pada waktu itu, Gedung Agung Jogja bersama dengan 11 menterinya, 38 rektor dan ratusan peneliti," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Pada saat itu Indonesia mencanangkan sebuah program yang namanya mobil listrik nasional. Lalu, dirinya diminta untuk mengembangkan 25 mobil untuk kepentingan KTT APEC di Oktober 2013. Namun dia dan timnya hanya menyanggupi untuk mengembangkan 5 mobil. Lalu sebanyak 16 unit digarap oleh tim Dasep.

Mobil listrik yang mereka kembangkan bukanlah untuk digunakan sehari-hari di jalan raya, melainkan hanya prototipe untuk dibawa ke KTT APEC. Mereka hanya memiliki waktu yang sangat sedikit untuk membuat prototipe.

"Lalu dalam waktu 4 bulan itu saya dan tim bersungguh-sungguh untuk mengembangkan mobil Selo dan 4 MPV yaitu Gendhis pada waktu itu, dan Pak Dasep mengembangkan sebanyak 10 bus dan 5 MPV," tutur Ricky Elson.

Ceritanya bersambung ke halaman berikutnya. Langsung klik

Lantaran waktunya sangat singkat maka mau nggak mau Dasep tidak bisa memilih untuk membuat dari nol. Akhirnya dia menggunakan karoseri mobil yang sudah ada, dan pada waktu itu memilih menggunakan Alphard karena akan dibawa ke KTT APEC, dan menggunakan karoseri bus listrik 3/4 buatan Hino.

"Tentu saja karena ini prototipe itu sah-sah saja, saya rasa tidak masalah, ini kan konversi ya. Pak Dasep bukan akan jualan mobil. Tapi menyediakan prototipe kendaraan listrik yang akan digunakan ke KTT APEC," sebutnya.

Mengingat waktu yang tidak banyak, dan beberapa suku cadang belum bisa dibuat di dalam negeri akhirnya menggunakan komponen pabrikan. Timnya maupun tim Dasep tidak mau mengambil risiko meskipun hanya membuat prototipe sehingga menggunakan beberapa komponen pabrikan.

Waktu pun berlalu Ricky Elson dan tim akhirnya bisa menyelesaikan 5 mobil untuk kemudian dibawa ke KTT APEC. Namun permasalahan terjadi di tim Dasep yang tidak bisa menyelesaikan target 16 mobil untuk dibawa ke KTT APEC.

"Lalu inilah yang menjadi permasalahan hingga ke tahun 2014 pun ternyata mobil ini juga tidak bisa diselesaikan dan ini menjadi temuan," paparnya.

Pada waktu itu perjanjian yang dibuat oleh Dasep bukankah pengembangan kendaraan listrik tapi pengadaan kendaraan listrik untuk KTT APEC. Lantaran judulnya pengadaan maka ada celah hukum, dan celah hukum itulah yang pada gilirannya membuat Dasep terjerat kasus.

"Namun karena perjanjian Pak Dasep dengan BUMN pada waktu itu adalah pengadaan maka seperti biasa ini juga satu hal yang masih menyedihkan di Indonesia ini, setiap pergantian kekuasaan itu selalu ada, tidak hanya di lingkungan yang besar, di lingkungan yang kecil ada sebuah misi balas dendam. Saya menangkapnya seperti itu sehingga kesannya bukan untuk memperbaiki kesalahan tapi bagaimana menjerat kesalahan sehingga akhirnya Pak Dasep terjerat," tuturnya.

Bersambung lagi ke halaman berikutnya. Langsung klik

Bukan hanya itu masalah yang melilit Dasep. Sebab, saat menggarap prototipe pesanan BUMN, Dasep juga menerima tawaran kerja sama dengan Kemenristek untuk membuat 18 mobil listrik. Tawaran yang tidak dapat ditolaknya karena saat itu dia membutuhkan dana untuk menyelesaikan prototipe pesanan BUMN.

"Teman-teman yang pernah kerja sama dengan BUMN tahu bahwa ketika bekerja sama dengan BUMN, BUMN itu tidak menyediakan uang segepok Rp 30 miliar untuk mengembangkan mobil listrik langsung, tidak, ada DP, ada pembayaran kedua, ada syarat pembayaran ketiga, tentu saja di sisi Pak Dasep yang mengembangkan 16 (mobil listrik), beban pertama di dia dulu," jelasnya.

Kemudian pada bulan Oktober 2013 peluang dari Kemenristek diterimanya dengan dana sebesar Rp 24 miliar dan dia harus menyelesaikannya di bulan Januari 2014.

"Akhirnya beliau menerima kontrak-kontrak tadi yang menjadi jebakan buat beliau sendiri bahwa jika menggunakan uang negara maka pertanggungjawabannya ini akan selalu ada orang yang mencari kesalahan," terang Ricky Elson.

Benar saja, di awal 2014 terjadilah temuan karena Dasep tidak bisa memenuhi pengadaan dari 3 BUMN sebanyak 16 mobil, lalu juga tersangkut dengan pengadaan 8 mobil untuk Kemenristek sehingga menyebabkan masalah besar.

"Dan dari masalah ini sebenarnya cukup yang dikaji jika itu adalah kegagalan pengadaan, cukup yang dikaji adalah kegagalan pengadaan itu saja, namun yang terjadi tidak demikian, yang terjadi adalah mencari segala kesalahan dan kekurangan Pak Dasep. Dibuatlah tim independen untuk mencari bahwa Pak Dasep itu salah, salah diberi uang sebesar itu lalu membuat barang yang nggak bisa dipakai," tambahnya.


Hide Ads