Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi juga mengatakan penghapusan Premium akan menguntungkan PT Pertamina (Persero). Sebab, ada banyak biaya yang dikeluarkan demi menjual BBM Premium.
"Tidak saja mengurangi biaya transportasi, tapi juga mengurangi biaya subsidi yang selama ini dibebankan kepada Pertamina," lanjutnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, ia tidak yakin jika Premium bakal dihapus tahun depan. Wacana penghapusan Premium yang sudah berhembus sejak 2017 sampai saat ini tak kunjung terealisasi. Sebab menurutnya, ada pihak-pihak yang tak menginginkan rencana itu.
"Saya tidak yakin tahun depan Premium benar-benar dihapuskan. Pasalnya, sejak 2017 penghapusan Premium sudah diwacanakan, tetapi hingga kini tidak pernah direalisasikan. Kendalanya, saya menduga, pemburu rente impor Premium selalu mencegah rencana penghapusan Premium," ujarnya kepada detikcom.
Fahmy menyebut rencana penghapusan Premium dicegah oleh pemburu rente impor yang terancam rugi. "Pertamina diuntungkan, sedangkan pemburu rente dari impor Premium dirugikan. Jika benar-benar dihapuskan, pemburu rente akan mengalihkan lahan buruan rente," ujarnya.
Pernyataan Fahmi soal pemburu rente di sektor migas ini nyatanya bukan cuma angin lewat belaka. Detikers masih ingat dengan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral)? Anak usaha Pertamina yang resmi dibubarkan pada 13 Mei 2015 lalu.
Selama puluhan tahun, proses pengadaan impor minyak di Indonesia dilakukan lewat Petral, anak usaha Pertamina yang berdomisili di Singapura. Pembelian lewat Petral ini disebut-sebut sebagai ladang subur bagi mafia migas.
Kondisi ini membuat harga minyak atau BBM yang dibeli Pertamina menjadi lebih mahal, ketimbang membelinya langsung pada National Oil Company (NOC) sebagai produsen, lantaran pengadaan Petral selama ini dilakukan melalui trader.
Dengan dukungan pemerintah, Direktur Utama Pertamina kala itu, Dwi Soetjipto, langsung bergerak cepat dengan membubarkan Petral dan anak usahanya, Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES). Dwi menyebut banyak ketidakberesan dalam proses pengadaan minyak di dalam Petral, dan selama puluhan tahun pula Petral hampir tak pernah tersentuh. Meski Petral sudah dibubarkan, namun bukan berarti mafia migas sudah hilang sepenunya.
"Setelah kami konsultasi ke presiden, dan presiden sangat mendorong bersihkan saja, dan dengan Menteri BUMN juga kami diskusikan juga, akhirnya kami putuskan dibubarkan. Dari situ diikuti audit investigasi, dan kemudian diketahui adanya potensi-potensi permainan di sana. Itu satu sisi berkaitan dengan pembubaran Petral," kata Dwi Soetjipto kepada detikcom pada 2016 lalu.
(fdl/ang)