Pertamina Teken 4 MoU Demi Kelanjutan Energi & Dekarbonisasi

Pertamina Teken 4 MoU Demi Kelanjutan Energi & Dekarbonisasi

Muhamad Yoga Prastyo - detikFinance
Selasa, 18 Jan 2022 19:15 WIB
Pertamina
Foto: Pertamina
Jakarta -

Pertamina menyepakati empat nota kesepahaman untuk program keberlanjutan energi dan dekarbonisasi. Kesepakatan ini sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam persiapan Presidensi G20 di tahun 2022.

Nota kesepahaman tersebut ditandatangani pada 18 Januari 2022, bertepatan dengan agenda Stakeholders Consultation oleh The Business (B20) Task Force Energi, Sustainability and Climate. Dalam hal ini, Pertamina menjalin kerja sama dengan beberapa mitra terkemuka skala nasional dan internasional.

Kerja sama ini dilakukan untuk melakukan kajian dan penjajakan kerja sama untuk pengembangan upaya-upaya net-zero emissions. Baik dari aspek teknologi, energi ramah lingkungan, offset emisi, dan potensi kolaborasi lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Oleh karena itu ada 4 kerja sama yang kita tanda tangani, ini semua adalah mendukung program pemerintah untuk mencapai net-zero emissions di tahun 2060 dan yang medium term-nya adalah menurunkan karbon emisi di tahun 2030 itu antara 29%-41%," ucap Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati dalam keterangan tertulis, Selasa (18/1/2022).

Nicke juga mengatakan nota kesepahaman tersebut merupakan bentuk realisasi untuk rekomendasi kebijakan kepada pemerintah. Selain itu, nota kesepahaman ini juga menunjukkan bagaimana G20 bisa mendorong realisasi dari apa yang telah dicanangkan.

ADVERTISEMENT

Adapun isi dari nota kesepahaman tersebut di antaranya:

Pertama, Pertamina dan Jababeka sepakat untuk melakukan kerja sama dalam identifikasi dan evaluasi pengembangan Green Industrial Estate. Termasuk di dalamnya akan mencakup soal pasokan gas, penyediaan pasokan listrik dari Energi Baru dan Terbarukan, serta riset dan inovasi.

Selanjutnya, Pertamina dengan Inpex Corporation (Inpex) juga berencana menjajaki peluang pengembangan bersama pasokan Clean- Liquefied Natural Gas (LNG) dan Clean Gas dari terminal LNG Bontang.

Kerja sama ini dimaksudkan guna mengembangkan usaha memproduksi LNG yang bersih secara fisik, bebas karbon, termasuk offset melalui kredit karbon yang dapat diberikan oleh gas/LNG yang bersih secara fisik yang diproduksi di Indonesia.

Isi nota kesepahaman selanjutnya adalah kerja sama Pertamina dengan Chiyoda Corporation (Chiyoda) dengan melakukan kerja sama studi aplikasi teknologi Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS), dan produksi hidrogen. Hal ini dilakukan sebagai upaya dukungan terhadap penurunan emisi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan, sekaligus mempromosikan climate goals.

Terakhir, Sub-Holding Pertamina New & Renewable Energy (PNRE) dan Subholding Commercial & Trading (C&T) bekerja sama dengan PT Grab Teknologi Indonesia dan PT Sepeda Untuk Indonesia guna melakukan penjajakan kerja sama dalam hal pengembangan ekosistem Electronic Vehicle (EV) khususnya terkait bisnis baterai dan sistem penukaran baterai (battery swap), sampai ke peningkatan desain kendaraan EV.

Selain menandatangani nota kesepahaman, isi agenda Stakeholders Consultation oleh The Business (B20) Task Force Energy, Sustainability and Climate juga mengangkat tiga tema, yakni innovation, inclusivity, dan collaboration.

"Tiga hal tersebut harus diwujudkan dalam hal merealisasikan target pemerintah untuk net zero emission. Oleh karena itu dengan penandatanganan tadi kita pun membuka kerja sama tersebut," kata Nicke.

Nicke juga menambahkan terkait teknologi dan akses pendanaan yang menjadi dua hal kritis dalam peningkatan New Renewable Energy menjadi tidak berjalan secepat yang diharapkan. Menurutnya, sumber daya di Indonesia sangat besar namun teknologi saat ini belum cukup untuk memproses sumber daya tersebut, sehingga memerlukan teknologi yang dapat memproses sumber daya menjadi sumber energi yang ramah lingkungan.

Terkait akses pendanaan, Nicke menyinggung soal affordability atau kemampuan finansial terkait dengan transisi energi. Melihat perkembangan sampai saat ini, energi baru dan terbarukan dinilai masih lebih tinggi harganya dibanding dengan energi fosil.

"Jadi affordability ini menjadi fokus pembahasan yang sangat penting karena ini bukan hanya harga dan energi itu sendiri, tetapi juga perubahan ke arah Renewable Energy akan mendorong juga ke arah daya beli masyarakat," ucap Nicke.

Untuk itu, menurut Nicke, yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana membuat program yang bisa menyeimbangkan hal-hal tersebut agar target pemerintah untuk net-zero emissions di tahun 2060 tercapai.

Tak hanya soal bisnis besar, UMKM di negara berkembang juga merupakan salah satu yang harus dipertimbangkan. Nicke menilai, rekomendasi kebijakan yang akan diusulkan nanti harus berdampak baik untuk UMKM. Hal ini mengingat lebih dari 90% tenaga kerja Indonesia diserapnya di sektor UMKM. Terlebih, kontribusi UMKM terhadap ekonomi nasional cukup besar sekitar 64%.

"UMKM merupakan faktor penting karena ini menjadi kekuatan negara berkembang termasuk Indonesia ketika menghadapi krisis. Kalau UMKM ini bisa stabil maka recovery-nya juga akan semakin cepat," kata Nicke.

Sebagai informasi tambahan, acara penandatanganan kerjasama ini dihadiri Deputy Chair Task Force Energy, Sustainability, & Climate B20 Agung Wicaksono, Direktur Strategi, Portofolio dan Pengembangan Usaha PT Pertamina (Persero) Iman Rachman, Direktur Utama PT Jababeka Tbk., Budianto Liman, Director - Senior Managing Executive Officer of Global Energy Marketing Division Inpex Shigeharu Yajima, SVP - Division Director - Business Development Division Chiyoda Corporation, Mr. Hideo Matsui, Direktur Utama PT Grab Teknologi Indonesia Ridzki D. Kramadibrata dan Direktur PT Sepeda Untuk Indonesia Ika Sari Dewi.

(fhs/hns)

Hide Ads