Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah akan tegas dan tanpa kompromi kepada semua pihak dalam rangka penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara.
Saat ini pemerintah sedang menyiapkan strategi baru dalam rangka menyelesaikan kasus ini. Pasalnya, sampai saat ini para nelayan dan petani rumput laut di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih tak kunjung mendapatkan kompensasi dan ganti rugi meskipun sudah memenangkan gugatan class action di Pengadilan Federal Australia.
"Kami tegas kami nggak mau kompromi dalam hal ini! Ada kesalahan itu dia harus bayar, kompensasi ke masyarakat," tegas Luhut dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9, Jumat (1/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut menyatakan sejauh ini imbas dari tumpahan minyak kilang lepas pantai Montara telah berimbas pada lingkungan di sekitar pantai dan laut NTT. Luhut bilang mata pencaharian masyarakat hingga kerusakan lingkungan di NTT harus bisa dikompensasi.
"Kita lihat itu kan kalau di filmnya betapa hancurnya rumput laut yang jadi mata pencaharian dari rakyat itu kan harus dihitung. Belum kerusakan pada tubuh manusianya yang memakan ikan-ikan yang terkontaminasi," papar Luhut.
"Kami serius sekali, kami akan fight at all cost," tegasnya.
Menurut perhitungan pemerintah, ada 13 kabupaten yang terdampak tumpahan minyak Montara. Namun dalam gugatan class action yang pernah dilakukan cuma mencakup nelayan dan petani rumput laut di dua kabupaten saja.
Luhut menyatakan pemerintah akan melakukan dua gugatan baru terhadap semua pihak yang bertanggung jawab dalam kasus tumpahan minyak Montara. Bakal ada Peraturan Presiden (Perpres) untuk melandasi aksi penyelesaian kasus tumpahan minyak ini.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengkoordinir gugatan di dalam negeri, sedangkan Kementerian Hukum dan HAM akan mengkoordinir gugatan internasional.
"Kelak jika Perpres akan keluar kami akan eksekusi hal itu di lapangan. Dengan aturan itu kami akan gugat di dalam negeri yang dikoordinir Kementerian Kehutanan dan proses hukum luar negeri akan dikoordinir Kemenkumham," beber Luhut.
Bagaimana perjalanan kasus Montara? Cek halaman berikutnya.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman yang saat itu dijabat Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan selama ini pemerintah Australia merasa tak memiliki tanggung jawab atas permasalahan tersebut. Itu yang menyebabkan kasus ini berlarut-larut.
"Kita akan diskusi ke Australia dan bilang bahwa pemerintah Australia harus tanggung jawab terhadap pencemaran laut Timor 2009 lalu. Sudah 10 tahun belum ada jawaban jelas," katanya di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta Pusat, Kamis (11/4/2019).
Purbaya menjelaskan sejak awal kasus ini terjadi, ada beberapa pihak yang terlibat atas kejadian tersebut. Mulai dari PTTEP, Australian Maritime Safety Authority (AMSA), perusahaan Halliburton, dan Sea Drill Norway.
Sebetulnya, pada 2010 telah dilakukan Nota Kesepahaman antara Dubes Australia Greg Moriarry dan Freddy Numbery. Itu merupakan titik awal penyelesaian kasus tumpahan minyak Montara.
Sayangnya, nota kesepahaman itu cuma sebatas hitam di atas putih, tidak pernah sekalipun ditindaklanjuti oleh Australia. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri.
"Hal ini tidak pernah ditindaklanjuti baik oleh Australia dan Indonesia, sehingga masih terkatung-katung sampai sekarang," ujarnya saat itu.
Bukan hanya soal minyak. Cek halaman berikutnya.
"Akibatnya, 1 kali 24 jam banyak sekali ikan besar dan kecil mati termasuk di kawasan kita (Indonesia)," terangnya.
Pemerintah Indonesia intensif bergerak mengatasi masalah ini melalui Tim Montara Task Force. Satuan tugas itu memulai tugasnya dengan melakukan pertemuan secara langsung pada 20-27 April 2019 ini di Canberra, Australia.
Masih di tahun 2019, petani yang jadi korban pun melakukan aksi gugatan class action alias gugatan berkelompok lewat pengadilan federal Sydney pada Juni 2019.
Saat itu para petani dari kawasan Nusa Tenggara Timur menggugat ganti rugi sekitar 200 juta dolar Australia, atau lebih dari Rp 2 triliun. Mereka mengaku pendapatan mereka berkurang setelah adanya pencemaran tersebut.
Hingga akhirnya, perjuangan pemerintah dan petani baru mendapat titik terang di tahun kemarin, tepatnya setelah 12 tahun kasus bergulir tanpa penyelesaian dan alot. Gugatan yang diajukan dimenangkan dan pihak PTTEP dinyatakan bersalah.