Ekonomi Belum Stabil, Harga Pertalite dan LPG 3 Kg Jangan Naik Dulu Deh!

Ekonomi Belum Stabil, Harga Pertalite dan LPG 3 Kg Jangan Naik Dulu Deh!

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Senin, 11 Apr 2022 04:00 WIB
Pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) memasang informasi tentang Pertalite stok habis di Kendari, Sulawesi Tenggara, Minggu (3/4/2022). Sejumlah SPBU di Kendari mengalami kelangkaan BBM jenis Pertalite sejak sepakan terakhir. ANTARA FOTO/Jojon/YU
Ilustrasi/Foto: Antara Foto/Jojon

Kalau dilihat urgensinya, kenaikan harga Pertalite dan LPG 3 kg diakui Mamit memang sangat dibutuhkan. Sejauh ini Mamit bilang harga Pertalite dan LPG 3 kg memang sangat jauh dari harga keekonomian yang layak.

Apalagi, LPG 3 kg yang sudah belasan tahun tak kunjung dinaikkan. Harga Pertalite saat ini berada di Rp 7.650 sementara menurut Mamit harga pasarannya sudah mencapai Rp 15 ribuan per liter. Selisih harganya disubsidi pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, Mamit menyatakan untuk harga LPG per kilogramnya dipatok Rp 4.250 sejak awal dikeluarkan. Sampai saat ini harga keekonomian gas LPG sudah mencapai Rp 20 ribu per kg.

"Memang sih sudah urgent sekali, kalau dihitung dari datanya harga Pertalite aja kondisi saat ini harusnya keekonomiannya Rp 15.600. Apalagi LPG 3 kg, dari semenjak program ini berjalan tidak pernah alami kenaikan di Rp 4.250 per kg, sekarang sudah Rp 20 ribu," papar Mamit.

ADVERTISEMENT

Meski urgensi kenaikan harga sangat besar, menurut Mamit, negara juga harus menjaga perekonomian rakyatnya. Masalah kenaikan harga energi akan sangat memberatkan masyarakat.

"Saya sangat paham urgensi ke beban keuangan ini cuma ya tolong jangan sekarang lah, karena ini memberatkan sekali," tegasnya.

Mamit meyakini kenaikan harga tak tepat untuk dilakukan saat ini. Menurutnya bila kenaikan harga dilakukan dengan alasan mengurangi beban subsidi pemerintah, sebetulnya masih ada cara lain yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban subsidi Pertalite dan LPG 3 kg bagi pemerintah.

Hal tersebut adalah membuat skema subsidi yang tertutup dan berbasis kepada orang bukan barang. Artinya, subsidi untuk Pertalite dan khususnya LPG 3 kg diberikan hanya untuk orang-orang tertentu yang berhak mendapatkannya.

"Harusnya subsidi ini jangan lagi kepada barang, tapi langsung kepada orang. Subsidi tetutup, buat aturan jelas dan tegas untuk subsidi ini. Misalnya LPG, masyarakat yang sudah terdaftar bisa beli langsung ke SPBU," ungkap Mamit.

Selama ini, skema subsidi seperti itu dikhawatirkan tidak berjalan dengan baik karena masalah data penerimanya. Tapi, menurut Mamit, ada data yang paling akurat untuk memberikan subsidi energi. Data itu adalah data penerima subsidi listrik 450-900 VA.

"Datanya itu paling bagus menurut saya itu data dari PLN. Karena kan dia ada program 450-900 VA yang subsidi ini kan penerimanya benar-benar orang bawah nih ya, ada petugas yang kontrol juga. Artinya, ini benar-benar orang yang layak mendapatkan subsidi," ungkap Mamit.

Bukan cuma itu, Bhima menambahkan untuk menahan selisih harga pasar dengan harga subsidi, pemerintah bisa melakukan subsidi silang. Maksudnya, subsidi silang dilakukan dengan mengarahkan penerimaan negara yang surplus dari hasil ekspor minerba dan perkebunan ke selisih harga pasar dari Pertalite dan LPG 3 kg.

"Harusnya pemerintah bisa menahan selisih harga keekonomian Pertalite dan Elpiji 3 kilogram melalui mekanisme subsidi silang dari hasil windfall penerimaan negara dari ekspor minerba dan perkebunan," ungkap Bhima.

Bhima menilai pemerintah bagaikan mendapatkan durian runtuh dari hasil ekspor minerba dan perkebunan. Lonjakan pendapatan pajak dan PNBP dari dua sektor andalan ekspor itu diyakini Bhima bisa mencapai Rp 100 triliun.

"Berdasarkan simulasi kenaikan harga minyak mentah, diproyeksikan pemerintah sedang alami lonjakan pendapatan pajak dan PNBP sekitar Rp 100 triliun," papar Bhima.

Jika masih kurang, Bhima menilai pemerintah harus efisiensi belanja. Salah satunya, dengan menunda proyek-proyek besar yang dibiayai APBN, pemindahan dan pembangunan ibu kota negara (IKN) baru salah satunya.

Sebagai bayangan, Bhima menjabarkan kebutuhan dana IKN menurut Bappenas bisa mencapai Rp 468 triliun. Sementara itu, 53,3% dari total dana akan diambil dari APBN hingga 2024. Dana sebesar itu, menurut Bhima lebih baik difokuskan menjaga stabilitas harga pangan dan energi.


(hal/ara)

Hide Ads