Meskipun banyak diincar, Achmad mengatakan secara ekonomi sebenarnya harga rare earth tak terlalu mahal. Dia juga menduga teknologi untuk mengekstraksi rare earth pun tak butuh biaya besar. Hanya saja menurutnya, saat ini rare earth sedang banyak dibutuhkan dan dicari banyak orang.
"Sebenarnya harganya sih nggak hebat-hebat amat, cuma memang ini akan selalu dibutuhkan. Dugaan saya teknologinya juga nggak mahal kelihatannya gitu. Karena produknya juga nggak mahal," ungkap Achmad.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Achmad menyatakan produk rare earth paling mahal mungkin hanya berkisar di antara US$ 6.000 per ton. Bila dirupiahkan jumlahnya hanya sekitar Rp 86,1 juta dengan kurs Rp 14.350.
"Itu antara yang paling mahal mungkin antara US$ 6.000-an per ton, yang bawah itu US$ 1500 hingga 2000-an per ton," kata Achmad.
Menurutnya, logam tanah jarang memiliki elemen strategis yang sangat tinggi dan sangat dibutuhkan di dunia. Sedangkan ketersediaannya tidak banyak.
"Logam tanah jarang ini memang memiliki elemen strategis yang sangat tinggi, sangat dibutuhkan oleh seluruh dunia, ketersediaan tidak banyak, dan pemilik teknologinya juga tidak banyak," jelas Achmad.
Sementara itu, dilansir Reuters, harga rare earth di China justru sedang bergejolak tinggi-tingginya yakni di level ratusan ribu dolar per ton. Harga tanah jarang telah melonjak sejak paruh kedua tahun 2021 di tengah kekhawatiran ketidakpastian pasokan dari Myanmar.
Harga rare earth paduan praseodymium-neodymium China berada di level US$ 218.395 per ton di awal Maret. Artinya, bila dirupiahkan mencapai Rp 3,13 miliar per ton. Material itu digunakan untuk membuat magnet super kuat untuk motor kendaraan listrik.
Saksikan juga e-Life: Tahan Dulu Ya Sayang, Kita Masih Puasa!
(hal/ara)