Kementerian Keuangan memproyeksi hingga akhir 2022 subsidi dan kompensasi listrik akan mencapai Rp 131,02 triliun. Jumlah itu merupakan yang terbesar jika dibandingkan 5 tahun terakhir.
Proyeksi sebesar Rp 131,02 triliun tersebut berasal dari subsidi sebesar Rp 66,47 triliun dan kompensasi sebesar Rp 64,55 triliun.
"Jika tidak diberlakukan tarif adjustment untuk golongan non subsidi, ini tentunya menimbulkan beban kompensasi. Tahun 2022 saja, beban kompensasi berpeluang menjadi Rp 64,55 triliun sehingga subsidi dan kompensasi untuk listrik total 2022 outlook-nya akan berada di Rp 131,02 triliun," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu dalam rapat Panja dengan Badan Anggaran DPR RI tentang APBN 2023, Senin (12/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika dirinci realisasi beban subsidi dan kompensasi listrik terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, realisasi beban subsidi dan kompensasi listrik mencapai Rp 58,06 triliun, naik menjadi Rp 79,68 triliun pada 2018.
Kemudian pada 2019 subsidi dan kompensasi listrik mencapai Rp 74,92 triliun, naik menjadi Rp 79 triliun pada 2020 dan naik lagi menjadi Rp 81,20 triliun pada 2021.
Menurut Febrio, tarif listrik sebagian golongan pelanggan non subsidi lebih rendah dari harga keekonomian. Hal ini memunculkan risiko bagi keuangan negara dalam bentuk kompensasi.
Pertumbuhan rata-rata subsidi listrik dipengaruhi oleh realisasi Indonesian Crude Price (ICP) kurs dan upaya penguatan ketepatan sasaran penerima subsidi listrik.
Pemerintah, kata Febrio terus menghadapi berbagai tantangan dan risiko agar subsidi listrik tepat sasaran. Di satu sisi volatilitas harga komoditas ICP, batu bara hingga kurs juga ikut mempengaruhi perhitungan pemerintah.
Alhasil kebijakan tarif adjustment pelanggan non subsidi belum dapat sepenuhnya bisa diterapkan, sehingga pemerintah akan terus mengamati berbagai perkembangan hingga peluang kondisi perekonomian ke depan.