Anak Buah Luhut Bantah 5 Klaim Faisal Basri soal Hilirisasi Nikel Untungkan China

Aulia Damayanti - detikFinance
Sabtu, 12 Agu 2023 10:15 WIB
Foto: 20detik
Jakarta -

Ekonom senior Faisal Basri mengkritik hilirisasi nikel yang dinilai tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia, tapi justru menguntungkan China. Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto membantah pernyataan Faisal Basri.

Ada lima pernyataan Faisal Basri yang dibantah oleh Seto, termasuk soal penerimaan ke negara dari ekspor produk hilirisasi nikel hingga masalah tax holiday alias insentif pajak untuk pelaku usaha selama 20 tahun.

"Ada lima klaim Faisal Basri dalam artikel bantahannya, yaitu (1) Angka ekspor produk hilirisasi nikel Rp 510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah, (2) Pemerintah mendapatkan pajak dan penerimaan negara yang lebih kecil dengan melarang ekspor bijih nikel, (3) Pemerintah memberikan harga bijih nikel "murah" kepada para smelter, (4) Nilai tambah hilirisasi nikel 90% dinikmati investor Tiongkok, (5) Kebijakan hilirisasi nikel tidak menimbulkan pendalaman industri karena kontribusi industri pengolahan terhadap PDB justru menurun," ujar Seto dalam keterangannya, Sabtu (12/8/2023).

Seto menerangkan yang pertama terkait klaim Faisal Basri bahwa angka ekspor hilirisasi nikel tahun 2022 Rp 510 triliun yang disampaikan Presiden Jokowi salah, karena menurut hitungan dia angkanya Rp 413,9 triliun. Menurutnya kesalahan utama Faisal Basri di sini adalah tidak update terhadap perkembangan hilirisasi di Indonesia, sehingga dia hanya memasukkan angka ekspor besi dan baja senilai US$ 27,8 miliar atau Rp 413,9 triliun.

"Padahal hilirisasi nikel kita juga memproduksi bahan lithium baterai seperti nickel matte dan Mixed Hydrate Precipitate (MHP) yang tergabung dalam HS Code 75," ujar dia.

Kemudian, tahun 2022, nilai ekspor nickel matte dan MHP adalah US$ 3,8 miliar dan US$ 2,1 miliar. Selain itu masih ada beberapa turunan nikel di HS Code 73. Seto menjelaskan, jika angka ekspor semuanya di total maka angkanya adalah US$ 34,3 miliar atau Rp 510,1 triliun. Menurut Seto, hal itu sesuai yang Presiden Jokowi sampaikan.

Kedua, Seto menjawab Faisal Basri yang mengatakan bahwa negara menerima pendapatan negara yang kecil akibat pelarangan ekspor bijih nikel, karena para smelter tersebut mendapatkan tax holiday 20 tahun. Menurutnya Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah.

"Tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar Rp 30 triliun atau lebih. Jika kurang dari itu maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun. Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar," terang dia.

Seto mengungkap, berdasarkan data pemberian tax holiday tahun 2018-2020, rata-rata perusahaan smelter hanya mendapat insentif tax holiday 7-10 tahun. Cuma ada dua yang memperoleh 20 tahun, dan saat ini hanya satu yang beroperasi.

"Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan," jelas dia.

Seto menerangkan untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan. Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, nantinya dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan tahun 2016-2022.

Seto pun membeberkan penerimaan perpajakan tahun 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp 17,96 triliun, atau naik sebesar 10,8 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 1,66 triliun. Untuk pendapatan PPh Badan tahun 2022 adalah Rp 7,36 triliun atau naik 21,6 kali dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 0,34 triliun.

Jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data tahun 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar Rp 1,55 triliun atau 10% dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$ 1,1 miliar. Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp 3,99 triliun di tahun 2019.

"Jadi, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data di atas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini. Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi," tegas Seto.




(ada/fdl)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork