Polusi udara yang menjadi momok masyarakat di Ibu Kota Jakarta dalam beberapa bulan terakhir dan disebut berasal dari kendaraan 44% dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 34%.
Namun, berdasarkan kajian yang dilakukan Institut Teknologi Bandung, emisi yang dikeluarkan PLTU yang ada di sekitar Jakarta tidak berdampak pada polusi yang terjadi di Ibu Kota.
Peneliti sekaligus Guru Besar Teknik Lingkungan ITB, Puji Lestari dalam Kajian Dampak Kegiatan PLTU Banten dan Jawa Barat terhadap Potensi Polutan Lintas Batas Dengan Model Dispersi dikutip Kamis (7/9/2023) menjabarkan, dalam pengoperasian PLTU yang menggunakan bahan bakar batu bara memang menghasilkan emisi berupa PM, SO2, dan NOx.
Meskipun dalam pengoperasian PLTU telah menggunakan alat pengendali pencemaran udara serta dilakukan pemantauan secara berkala, namun isu menurunnya kualitas udara di perkotaan sering kali dikaitkan dengan dampak yang ditimbulkan dari operasional PLTU.
Puji dalam penelitiannya melakukan studi terkait dispresi/perpindahan ini dengan tujuan untuk mengevaluasi apakah kegiatan PLTU yang dilakukan oleh PLTU memiliki dampak terhadap kualitas udara lingkungan dan apakah ada keterkaitan antara operasional PLTU ini dengan penurunan kualitas udara, terutama di perkotaan Jakarta.
"Penelitian yang digunakan menggunakan model CALPUFF, tetapi data emisi yang digunakan adalah data yang sebenarnya, berasal dari PLTU Suralaya, PLTU Lontar, PLTU Labuan, dan Pelabuhan Ratu. Jadi, peneliti tidak hanya memperhitungkan data dari PLTU Suralaya saja, tetapi juga semua emisi dari keempat PLTU," jelasnya.
"Selain itu, kami juga menggunakan data meteorologi dari tiga lokasi, yaitu Jakarta, Soekarno Hatta, Serang, dan Citeko. Peneliti memutuskan untuk menggunakan model CALPUFF karena model ini telah digunakan oleh banyak penelitian sebelumnya dan sudah dikenal luas dalam komunitas penelitian ini," ungkapnya lagi.
Wilayah studi dalam penelitiannya, ditetapkan ukuran 300 kali 300 kilometer. Hal ini dilakukan agar wilayah studi mencakup seluruh daerah yang diharapkan mulai dari lokasi pembangkit di Cilegon hingga mencakup Pelabuhan Ratu serta Jakarta dan sekitarnya.
Dalam penelitiannya, ia memperhatikan ketinggian elevasi dari dimensi studi. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa modeling dapat mempertimbangkan adanya gunung, bukit, dan lainnya, yang berpotensi berdampak pada hasil modeling.
Puji menjelaskan, pada kajian dispersi emisi, faktor paling penting untuk diperhatikan adalah arah angin, yaitu ke mana arah angin tersebut bertiup. Wind rose, sebagaimana tertampil pada gambar, berbentuk panah dari luar ke dalam yang menunjukkan pola angin seperti, kemana arah angin bertiup, frekuensi angin, dan kecepatan angin.
Pemodelan wind rose ini menggunakan titik lokasi model di Stadium Gelora Bung Karno, Jakarta, menggunakan data dari tiga stasiun meteorologi (Serang, Soekarno Hatta, danCiteko).
"Pada musim kemarau angin bertiup dari arah Timur Laut menuju ke arah Barat Daya sehingga emisi PLTU tidak berdampak pada polusi di Jakarta," tegas Puji.
Simak juga Video: Saat Istana Meluruskan Pernyataan Jokowi PLTU Batu Bara Tutup 2025
(rrd/rir)