Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) memproyeksikan 90% pasokan listrik dunia berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Pengembangan EBT di Indonesia dinilai bisa menjadi solusi untuk keluar dari ketergantungan impor.
Selain itu, EBT juga menjadi salah satu energi dengan biaya terjangkau di sebagian besar dunia. Biaya listrik dari tenaga surya, turun 85% dalam rentang 2010 ke 2020.
Sementara biaya energi angin darat dan lepas pantai, masing-masing turun 56% dan 48%. Founder Bumi Global Karbon (BKG) Foundation Achmad Deni Daruri memprediksi investor EBT bakal deras masuk ke Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, Indonesia adalah importir bersih bahan bakar fosil terbesar di dunia. Artinya, pasar EBT di dalam negeri sangat menggiurkan seiring tingginya kesadaran publik akan energi ramah lingkungan.
"Sekitar 270 juta penduduk bergantung pada bahan bakar fosil dari negara lain, yang membuat Indonesia rentan terhadap guncangan dan krisis geopolitik. Sebaliknya, Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah, namun potensinya belum sepenuhnya dimanfaatkan maksimal," kata Deni dalam keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (11/1/2024).
"Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 99% orang di dunia menghirup udara yang melebihi batas kualitas udara, dan mengancam kesehatan mereka. Dan, lebih dari 13 juta kematian di dunia per tahun, disebabkan pencemaran, termasuk polusi udara," ungkapnya.
Pada 2018, polusi udara dari bahan bakar fosil menimbulkan dampak ekonomi dan kesehatan, melahirkan kerugian hingga US$ 2,9 triliun. Atau setara US$ 8 miliar per hari.
Dengan transisi energi bersih, seperti angin dan matahari, tidak hanya membantu mengatasi perubahan iklim tetapi juga polusi udara dan kesehatan. Setiap dolar AS investasi dalam EBT menciptakan lapangan kerja sebesar 3 kali lebih banyak ketimbang industri berbahan bakar fosil.
"International Energy Agency (IEA) memperkirakan transisi menuju emisi nol bersih, mengarah kepada peningkatan keseluruhan dalam pekerjaan sektor energi. Sekitar US$ 5,9 triliun dihabiskan untuk mensubsidi industri bahan bakar fosil pada 2020," ungkapnya.
Sebagai perbandingan, sekitar US$ 4 triliun per tahun perlu diinvestasikan dalam energi terbarukan hingga 2030, termasuk investasi dalam teknologi dan infrastruktur untuk memungkinkan pencapaian emisi nol persen pada 2050.
"Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus menjamin keberadaan strategi yang menunjang peluang investasi dalam EBT. Pemerintah harus menjalankan lima strategi," kata Deni.
Lanjut ke halaman berikutnya
Apa saja kelima strategi itu? Pertama, kata Deni, pengaturan pasar di mana kebijakan harus menetapkan transparansi dan prediktabilitas, yang memberikan kepercayaan bagi investor dalam kemampuan untuk memulihkan investasi dalam pembangkit listrik.
Kedua, lanjutnya, memberikan insentif bagi energi bersih dan iklim tertentu yang menyusun strategi energi multi-tahun terintegrasi dengan target jangka pendek dapat menjadi langkah strategis.
"Ketiga, menjamin langkah-langkah ramah bisnis umum yang berupa beberapa kebijakan umum yang dapat memfasilitasi investasi energi terbarukan," ungkapnya.
Keempat, mekanisme pembiayaan yang inovatif di mana mekanisme pembiayaan dari berbagai jenis dapat berguna dalam mengurangi risiko, menawarkan potensi pengembalian tambahan, atau menciptakan lebih banyak peluang investasi.
"Terakhir, asumsi risiko awal di mana beberapa proyek yang sukses termasuk sponsor awal yang bersedia menanggung berbagai risiko," pungkasnya.
Deni benar. Besarnya potensi EBT yang dimiliki Indonesia, menjadi 'barang seksi' bagi investor. Mulai dari sinar matahari, angin, air, biomassa, dan panas bumi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi EBT Indonesia mencapai 442,4 GW.
Hanya saja yang baru dimanfaatkan sekitar 11,3 GW. Atau hanya 2,5% dari total potensi yang ada. Peluang investasi EBT di Indonesia sangat menarik bagi para investor baik dalam negeri, maupun luar negeri. Karena, menurut Deni, Indonesia memiliki beberapa keunggulan.
Pertama, kebijakan pemerintah sangat pro pengembangan EBT, seperti target bauran energi nasional 23% EBT pada 2025, insentif fiskal dan non-fiskal bagi investor EBT, serta penyederhanaan perizinan dan regulasi.
Kedua, ketersediaan sumber daya EBT yang melimpah dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia, seperti sinar matahari mencapai 4,8 kWh/m2/hari, angin dengan kecepatan rata-rata 3-6 m/s, air dengan potensi pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 75 GW, biomassa dengan potensi produksi bioenergi sebesar 32.654 PJ/tahun, dan panas bumi dengan cadangan terbesar di dunia sebesar 28.910 MW.
Ketiga, permintaan energi yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi Indonesia, serta kesadaran masyarakat akan pentingnya penggunaan energi yang ramah lingkungan.
(ang/ang)