Dia mengatakan saat ini ada 11 kementerian dan lembaga negara yang memiliki regulasi terkait fintech, seperti Kementerian Hukum dan HAM untuk tandatangan digitalnya, Kemendagri untuk data kependudukan dan lembaga lainnya.
Bhima menambahkan jika ada masyarakat bermasalah dengan pinjol, jika pinjolnya legal maka bisa mengadu kepada OJK karena OJK memang mengawasinya dan sudah ada POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
"Namun, kalau pinjol ilegal ini urusannya ke pihak Kepolisian karena secara kontrak perjanjian kredit tidak sah. Apabila disertai pengancaman, meneror dan mengancam maka ranahnya sudah masuk ke pidana. Itu ada di level Kepolisian," jelasnya lagi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam hal ini, SWI membantu tracking dan pendataan perusahaan pinjol ilegal atau mungkin ada tindakan pembekuan rekening, tetapi follow up tindakan diserahkan kepada penegak hukum.
Dia memaparkan, setidaknya ada empat ciri pinjol ilegal alias rentenir digital. Pertama, penawaran pinjaman menggunakan SMS/WA, sehingga harus segera dihapus. Fintech lending atau pinjol terdaftar dan berizin di OJK tidak diperbolehkan menawarkan pinjaman melalui saluran komunikasi pribadi, baik SMS atau pesan instan pribadi tanpa persetujuan konsumen. Kedua, tidak terdaftar dan berizin di OJK.
Ketiga, tarif bunga, denda dan biaya lain tidak wajar atau terlalu tinggi. Keempat, calon nasabah dimintai data pribadi, kontak, galeri, kalender lokasi dan sejumlah data pribadi yang relatif privasi, bahkan ada yang tanpa persetujuan di awal.
RUU Perlindungan Data Pribadi
Lebih jauh, Bhima mengatakan salah satu cara untuk menjerat pelaku usaha rentenir online adalah dengan segera mensahkan Rancangan Undang Undang Perlindungan Data Pribadi yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2021.
"Pengesahan RUU Data Pribadi perlu didorong lebih cepat. Masalah kerahasiaan data pribadi nasabah di bank relatif sudah beres. Namun, pinjol tidak diatur, maka perlu payung hukum. Untuk menjerat pelaku penyalahgunaan data, Kepolisian juga mengaku masih kekurangan instrumen hukumnya," ujar Bhima.
Bhima mengatakan dari sisi literasi, literasi digital masyarakat masih relatif rendah, yaitu sekitar 30 persen. Ini juga yang menjadi pemicu munculnya kasus guru TK yang terjebak pinjol ilegal.
Di sisi lain, memang ada kesengajaan dari sebagian masyarakat yang memiliki budaya konsumtif, sehingga memanfaatkan kemudahan syarat awal untuk mencairkan dana dari satu pinjol ke pinjol lain. Akhirnya tidak sanggup melunasinya.
(kil/fdl)