Aset digital yang dijuluki Non Fungible Token (NFT) akhir-akhir ini makin populer. Secara sederhana, NFT diartikan sebagai suatu teknologi untuk memberikan sertifikasi karya digital atau disebut juga aset di dalam blockchain jaringan Ethereum dan dapat diperjualbelikan.
"Sebuah teknologi yang bisa mensertifikasi aset-aset digital kita sehingga punya semacam sertifikasi dan sertifikat tersebut bisa diperjualbelikan, bisa berpindah tangan (kepemilikan). Jadi aset digital kita lebih punya value karena ada teknologi tersemat di dalamnya, nanti dari segi orisinalitas atau hal-hal lain terkait ownership bisa dilacak di situ," kata Founder Indonesian NFT Budi Santosa dalam d'Mentor, Rabu (24/11/2021).
Aset-aset digital yang dimaksud tidak terbatas, ada dari musik, foto, lukisan, karya 3D, virtual reality, hingga potongan gambar status Twitter bisa dijadikan NFT.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal-hal yang remeh-temeh tapi punya keunikan, punya value buat orang lain itu bisa di NFT kan dan potensial," ujarnya.
Perihal modal untuk memasukkan karya digital ke NFT beragam. Ada beberapa marketplace yang berbayar dan ada juga yang gratis untuk memasarkan karya digital atau yang biasa disebut minting dan listing.
Untuk memasukkan karya digital dibutuhkan wallet kripto dan marketplace. Salah satu marketplace terbesar di dunia yaitu Open Sea. Jika menggunakan Open Sea, artis (creator) hanya perlu membayar gas fee pertama saja setelah itu gratis mengunggah di kemudian hari tanpa batasan jumlah.
Baca juga: NFT Jalan Baru Investasi Karya Digital |
Budi menilai, Open Sea menjadi salah satu marketplace NFT yang cukup bersahabat buat para pemula karena biaya gas fee di awal saja. Namun saat ini modal awal di Open Sea cukup tinggi.
"Kalau misalnya kita tadi menggunakan Ethereum, kita pakai marketplace-marketplace populer itu kita harus membayar gas fee baik minting atau listing. Nah saat ini gas fee di sekitar US$ 100-150 atau sekitar Rp 1,4-2,1 juta (kurs Rp 14.200). Anggaplah kita harus mengeluarkan biaya segitu," ujarnya.