Kebijakan pemerintah untuk memungut pajak atas transaksi aset kripto menimbulkan tanya. Salah satu yang dipertanyakan adalah masalah waktu yakni kenapa baru sekarang dipungut.
Padahal, aset kripto telah berkembang di Indonesia cukup lama.
Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Bonarsius Sipayung menjelaskan, seiring berkembangnya teknologi informasi dan bisnis maka banyak peraturan perpajakan yang membutuhkan penyesuaian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia pun menjelaskan, aset kripto ini mulai bergeliat sekitar tahun 2013. Kemudian, berkembang pesat di tahun 2016.
Baca juga: Cara Baru Jualan Kripto Biar Cuan |
Saat itu, pengenaan pajak untuk aset kripto sulit untuk diimplementasikan.
"Pada saat 2016 kita kan masih, kalau skema PPN Undang-undang Nomor 42. Dengan berbasis Undang-undang Nomor 42 maka untuk pengaturan terhadap aset kripto agak susah untuk diimplementasikan," katanya dalam acara d'Mentor detikcom seperti ditulis Jumat (15/4/2022).
Pemungutan pajak untuk aset kripto berbeda dengan komoditas yang berwujud seperti pakaian atau baju. Menurutnya, untuk baju Undang-undang itu mudah diimplementasikan karena barangnya jelas berwujud dan transaksinya jelas.
"Dalam kotneks kripto ini ini rasa-rasanya absurd untuk bisa dikenakan karena yang masuk anonim dan dia borderless," ujarnya.
Peraturan perpajakan pun mengalami perkembangan sejalan dengan disahkannya Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (HPP). Salah satu isi Undang-undang HPP ialah Menteri Keuangan dapat menunjuk pihak lain untuk menjadi pemungut pajak.
"Kalau ditanya baru sekarang karena memang perangkat hukumnya baru tersedia ketika ada Undang-undang HPP yang notebenya yang baru terbit 2021. Dan turunan dari Undang-undang HPP salah satunya adalah PMK 68 yang mengatur tentang pemungutan pajak, pengenaan pajak PPh maupun PPN untuk aset kripto ini," jelasnya.
(dna/dna)