Transaksi Kripto Lesu Gegara Pajak Tinggi? Begini Respons OJK

Transaksi Kripto Lesu Gegara Pajak Tinggi? Begini Respons OJK

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 10 Nov 2023 19:02 WIB
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan ITSK, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) OJK, Hasan Fawzi.
Foto: Shafira Cendra Arini/Detikcom
Jakarta -

Besaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disebut-sebut menjadi penyebab lesunya nilai transaksi aset kekripto dalam beberapa waktu terakhir. Adapun besaran PPN final yang dipungut dan disetor ialah sebesar 1% dari tarif PPN umum 0,11%.

Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan ITSK, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) OJK, Hasan Fawzi menilai, keberadaan PPN ini justru bagus sebagai payung hukum dari para investor kripto.

"Sebetulnya kalau secara umum itu malah seharusnya sangat positif, kenapa? Karena ini menunjukkan legalitas yang konfirm, gitu ya, terhadap instrumen dan aset kripto ini. Begitu juga seluruh kegiatannya. Nah hanya saja tentu aspek enforcement-nya nih yang harus kita pastikan," kata Hasan, ditemui di Bunga Rampai, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/11/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, pengaturan perpajakan ini seharusnya bisa ditindaklanjuti dengan tindakan tegas untuk memastikan pemenuhannya. Salah satunya, melalui pajak yang lebih ringan untuk transaksi di dalam negeri dibanding di luar negeri.

"Nah itu tuh harus betul-betul terlaksana. Kalau tidak yang terjadi tentu kita khawatirkan karena ada kemudahan yang ada tadi. Maka akan kemungkinan shifting transaksi yang tadinya dilakukan secara domestik kemudian bisa saja beralih ke transaksi luar," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Hasan mengatakan, saat ini aset kripto masih berada di bawah tanggung jawab Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Kelak ketika pengawasan dan pengaturan aset kripto dipegang sepenuhnya oleh OJK, pihaknya akan mencari formula terbaik untuk melakukan pengembangan dan penguatan ekosistemnya dulu.

"Mungkin akan ada aspek kelembagaan yang harus kita benahi, karena investasi ini juga terkait dengan kepercayaan. Jadi kalau orang sudah kurang percaya, ragu untuk masuk ke instrumen investasi ini tentu akan ada tren penurunan yang berlanjut," ujarnya.

Di sisi lain, Hasan membenarkan kondisi turunnya nilai transaksi kripto. Adapun berdasarkan data Bappebti, per September 2023 nilai transaksi kripto tercatat Rp 94,4 triliun, turun dibandingkan pada 2022 dengan nilai transaksi Rp 306,4 triliun. Sementara, pada 2021, nilai transaksinya cukup tinggi hingga Rp 859,4 triliun.

"Mungkin penyebabnya yang pertama karena memang secara alamiah sejak booming investasi, tidak hanya di aset kripto kan, di seluruh aset investasi lain waktu ada pembatasan karena ada pandemi Covid-19," kata Hasan.

"Nah itu memang seluruh kegiatan investasi itu naik, begitu juga yang menjadikan transaksi aset kripto luar biasa pertumbuhannya di tahun 2021. Kemudian sedikit demi sedikit ada tren penurunan yang normal karena terjadi di semua instrumen juga di 2022 dan masih berlanjut di 2023," sambungnya.

Sebagai tambahan informasi, dikenakannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun pajak penghasilan (PPh) sejak 1 Mei 2022. Aturan ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Sebelumnya, Chief Compliance Officer (CCO) Reku sekaligus Ketua Umum Aspakrindo-ABI Robby mengatakan, ia menerima keluhan dari berbagai pengguna karena penerapan pajak sejak tahun lalu. Hal ini mendorong investor untuk beralih ke platform pertukaran asing. Namun platform exchange global yang menjadi sasaran investor kripto belum memiliki lisensi di Indonesia.

"Dapat berdampak negatif bukan hanya bagi pelaku usaha, namun juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan juga," ucap Robby dalam keterangan resmi, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, saat ini penerapan pajak di Indonesia terbilang besar dibandingkan dengan negara lainnya. Ia menyebut, besaran PPN final yang dipungut dan disetor sebesar 1% dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11%. Sementara penerapan PPN aset kripto tidak diberlakukan di banyak negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia dan Brazil.

"Tingginya beban yang ditanggung oleh investor ini mengakibatkan capital outflow yang signifikan atau dikhawatirkan, transaksi tidak lagi terjadi di Indonesia tapi di global. Masyarakat pun juga tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya mereka bertransaksi di exchange lokal," terangnya.

(shc/rrd)

Hide Ads