Gula Lokal Tak Dilirik, Produk Impor Lebih Menarik

Gula Lokal Tak Dilirik, Produk Impor Lebih Menarik

- detikFinance
Rabu, 10 Des 2014 10:50 WIB
Jakarta - Setiap tahun terjadi peningkatan impor gula dalam bentuk raw sugar (gula mentah) dan rafinasi. Gula-gula ini banyak diminati kalangan industri terutama produsen makanan dan minuman. Tingginya impor gula telah memukul harga gula petani di dalam negeri.

Presiden Direktur PT Gendhis Multi Manis Kamadjaya, pemilik PG Blora, mengatakan selama ini ada anggapan produksi gula lokal tak cocok untuk memasok kebutuhan industri karena beberapa alasan. Seperti tingkat incumsa atau kadar kepekatan warna gula yang masih tinggi.

Kamadjaya mengatakan, padahal sejatinya tak ada perbedaan antara gula rafinasi eks pabrik gula rafinasi yang berbahan baku raw sugar impor dengan gula eks pabrik lokal berbasis gilingan tebu atau gula kristal putih (GKP).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nggak ada bedanya gula rafinasi dan GKP," kata Kamadjaya kepada detikFinance, Selasa (9/12/2014).

Menurutnya sejak berpuluh-puluh tahun lalu pabrik biskuit, wafer, atau minuman bersoda di Indonesia beroperasi, mereka menggunakan gula-gula eks pabrik lokal atau GKP. Namun seiring perjalanan waktu, sejak 1996 muncul industri gula rafinasi yang berbasis bahan baku gula mentah impor.

Karakter gula rafinasi punya kelebihan tak perlu penyaringan saat akan diolah dalam proses produksi makanan dan minuman. Sedangkan GKP perlu disaring, namun secara kandungan gula sama saja.

"Gula rafinasi disukai industri makanan dan minuman karena menghemat biaya, karena tak perlu disaring lagi. Kalau yang lokal biasanya ada kandungan pasir dan fosfor," katanya.

Ia juga mengatakan, kenyataannya memang harga gula impor lebih murah daripada lokal karena efisien dalam proses produksinya. Di sisi lain, pemerintah juga telah membedakan dua jenis gula, yaitu rafinasi dan GKP, sehingga seolah-olah menjadi 'alasan' untuk kebijakan impor.

Menurutnya, kuncinya adalah harus ada pembangunan pabrik gula baru di Indonesia. Kamadjaya, sejak Juni lalu telah meresmikan pabrik gula PG Blora di Jawa Tengah, pabrik gula ini diklaim satu-satunya pabrik gula baru yang berdiri sejak 1984 atau sejak 30 tahun lalu.

Ia menambahkan, dengan mesin dan pabrik baru maka efisiensi produksi gula tercapai. Di pabrik gula Blora, tingkat rendemen bisa mencapai 9%, sedangkan di pabrik tua hanya 6-7%. Bahkan pabriknya pun bisa membuat gula dengan kualitas gula dengan incumsa atau keputihan hingga 25% atau sangat putih.

"Kuncinya kita ajari petani soal kualitas tebu, dan pabriknya kualitas bagus," katanya.

Kamadjaya menambahkan, dari 50-an pabrik gula di Jawa hampir seluruhnya sudah tua. Hanya ada beberapa pabrik yang pengelolaannya sangat baik, di tingkat kebun maupun di pabrik.

"Menurut saya, pabrik tua terbaik yaitu Kebon Agung di Malang. Penataan tebunya top, dan PG Trangkil di Pati, ini semi swasta," katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama 6 bulan pertama 2014 gula impor terbagi menjadi pasir (rafinasi) dan gula tebu (gula mentah). Gula pasir diimpor sebanyak 38.713 ton atau US$ 21,1 juta dalam 6 bulan tahun ini.

Asalnya adalah dari Thailand 26.115 ton (US$ 13 juta), Korea Selatan 4.185 ton (US$ 2,8 juta), Australia 3.360 ton (US$ 2,3 juta), Malaysia 3.410 ton (US$ 1,8 juta), Selandia Baru 1.560 ton (US$ 1,05 juta), dan negara lainnya total 82 ton (US$ 70 ribu).

Untuk gula tebu, dalam 6 bulan diimpor sebanyak 1,8 juta ton atau US$ 805 juta. Terbesar berasal dari Thailand yaitu 1 juta ton (US$ 449 juta).

Selanjutnya adalah Australia 419.076 ton (US$ 187 juta), Brasil 278.832 ton (US$ 132 juta), Afrika Selatan 82.560 ton (US$ 36,1 juta), dan Korea Selatan 5 ton (US$ 6.584).

(hen/hds)

Hide Ads