Menurut Rosan, dirinya pernah diceritakan oleh Menteri Perindustrian (Menperin), Airlangga Hartarto, mengenai investor lokal yang lebih memilih membangun pabrik di Vietnam ketimbang di dalam negeri.
Opsi ini diambil lantaran pemerintah Vietnam menjanjikan pasokan gas dengan harga lebih murah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rosan mengatakan, pemerintah sebenarnya bisa mencontoh Singapura. Meski tak memiliki ladang gas, negara tersebut bisa menyediakan gas dengan harga murah dari impor lantaran tak banyak mengutip untung dalam distribusinya.
"Nggak punya gas saja kok bisa rendah. Singapura nggak punya gas saja bisa US$ 4 per MMBtu, yang (negara tetangga) lain juga sama harganya US$ 6-7 per MMBtu. Selain mata rantai panjang ada komponen pemerintah juga, kalau itu bisa ditekan, industri kita akan jauh lebih kompetitif," tandasnya.
Oleh sebab itu, Rosan meminta pemerintah berani mengurangi bagian penerimaan negara dari penjualan gas. Meski penerimaan di kas negara berkurang, namun secara tidak langsung pemerintah bisa menikmati dampak positif seperti penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan ekspor.
"Sangat setuju (harga gas) turun, ini akan dorong industri berkembang dan ciptakan lapangan kerja. Harga gas mahal itu bukan karena faktor mata rantai panjang saja, tapi karena ada faktor pemerintah juga," kata Rosan.
"Industri kita yang terjadi sekarang kan deindustrialisasi, dan industri kita semakin lama daya saingnya turun. Kalau harga gas turun akan sangat signifikan dampaknya," pungkas Rosan. (hns/wdl)