Diserbu Produk Impor, Pengusaha Tekstil Curhat Terancam Bangkrut

Diserbu Produk Impor, Pengusaha Tekstil Curhat Terancam Bangkrut

Tri Ispranoto - detikFinance
Sabtu, 25 Mei 2019 21:30 WIB
Ilustrasi/Foto: Dok. Reuters
Bandung - Para pengusaha industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Jawa Barat merasa terancam dengan derasnya produk impor yang mayoritas dari China. Hal tersebut terjadi sejak keluarnya Permendag No 64 tahun 2017.

Salah satunya diungkapkan oleh pengusaha sarung tenun asal Majalaya Agus Ruslan. Menurut Agus aturan tersebut mengizinkan importir pemegang izin Angka Pengenal Importir Umum (API-U) mengimpor beragam produk TPT dengan sangat mudah termasuk sarung dan kain tenun yang diproduksi Industri Kecil dan Menengah (IKM) Majalaya.

"Akibat banjir produk impor ini kita tidak hanya omset turun, tapi malah pabrik tutup. Terakhir 3 pabrik paling besar tutup karena tidak bisa bersaing. Salah satunya produksinya mencapai 20 ribu kodi per bulan saat ini tidak ada selembar pun yang diproduksi," kata Agus mewakili ratusan IKM Sarung Majalaya di Bandung dalam keterangannya, Sabtu (25/5/2019).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat ini, kata Agus, seluruh IKM di Majalaya berusaha keras bertahan dari gempuran produk impor. Sebab produk sarung buatan IKM Majalaya sangat sulit bersaing karena biaya produksinya yang cukup tinggi dibanding China.

"Harga bahan baku di sini lebih mahal karena kita berbelanja dengan menggunakan dolar. Ketika dihantam seperti ini bukan hanya nilai omset saja yang dibicarakan tapi bagaimana bisa bertahan ke depan. Siapa lagi yang akan tutup pabrik," ucapnya.


IKM sarung tenun di Majalaya yang semula mencapai 350 pabrik sejak krisis moneter terus berkurang. Bahkan kini dengan gempuran produk China jumlahnya tersisa 45 pabrik.

Keluhan juga diungkapkan oleh pengusaha lainnya Deden Sunega. Menurutnya, penjualan sarung meski menjelang lebaran tidak ada peningkatan. Biasanya, kata Deden, ada peningkatan 2-3 kali lipat dari biasanya.

Menurut Deden, pabriknya yang memproduksi kain puring sudah tidak lagi beroperasi. Deden mengatakan saat ini hanya sekitar 30 persen pabrik kain puring yang masih bertahan.

"Tidak hanya kain pokok saja yang kena (imbas), ini kain puring juga kena imbas. Ketika banyak pakaian jadi yang masuk keseret sampai hulunya," ucapnya.

Hal itu juga turut diamini oleh pengusaha konveksi M Dean Irvandi. Bahkan Dean menyebut orderan terus menurun karena pelanggannya mulai memilih untuk memesan kaos ke importir. Sebab, ia mendapatkan informasi adanya kaos polos yang dijual importir Rp 18 ribu per helai.

"Biasanya dua minggu sebelum lebaran itu orderan sudah harus selesai, sekarang belum ada (orderan). Anjloknya hampir 50%," ujarnya.

Sementara itu Pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jabar Rizal T menilai bukan daya beli melainkan banjir produk impor lah yang menjadi penyebab dari turunnya kinerja industri di tanah air. Daya beli masyarakat masih kuat, hanya peluang tersebut justru diambil oleh produk impor. "Pasar masih punya kemampuan, tapi pasarnya dikasih ke luar (impor)," ujarnya.

(fdl/fdl)

Hide Ads