Namun yang jadi masalah biaya memperoleh SVLK yang harganya selangit. Misalnya, untuk eksportir skala UMKM, menurut Budianto harus mengeluarkan biaya Rp 30 juta per tahun dan ditambah Rp 110.000 per lembar invoice. Selain itu, UMKM juga kesulitan memenuhi persyaratan Tata Usaha Kayu (TUK).
"Untuk mengatasi seluruh persoalan itu, saya mengusulkan agar pemerintah membantu dengan menerapkan pelaksanaan audit tahunan dengan melakukan audit komunal. Mempermudah perizinan dan menghapus persyaratan legalitas perizinanTUK. Mempermudah persyaratan dokumen impor produk bahan baku penolong," ujar Budianto.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur melaporkan kepada Rachmat Gobel bahwa saat ini muncul wacana pembukaan kembali kebijakan ekspor kayu gelondongan atau log.
Menurutnya, wacana itu sama sekali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan.
"Ekspor log akan membuat industri mebel dan kerajinan kesulitan untuk mendapatkan bahan baku, ekonomi nasional juga akan kehilangan nilai tambah dari sektor industri hilir kehutanan," kata Abdul.
Menanggapi keluhan pengusaha, Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel menegaskan, pihaknya bersama seluruh anggota DPR akan melakukan pembahasan serius. Dia melihat, potensi industri berbasis kayu olahan ini sangat besar.
Bukan saja untuk meraup devisa, juga peluang menyelamatkan lapangan kerja dan industri berbasis budaya yang berkualitas.
"Insyaallah, Selasa depan saya akan mengajak konsultasi angota DPR bersama tiga kementerian terkait melihat segala aspek masalah yang bisa diselesaikan. Kita harus menghilangkan berbagai kendala regulasi, minimal meninjau ulang hal-hal yang menghambat," ungkap Gobel.
(Herdi Alif Al Hikam/dna)