95% Bahan Baku Obat RI Masih Impor, Apa Masalahnya?

95% Bahan Baku Obat RI Masih Impor, Apa Masalahnya?

Danang Sugianto - detikFinance
Minggu, 08 Nov 2020 10:41 WIB
A woman opens her mouth for lots of colorful pills on a spoon.
Foto: iStock
Jakarta -

Industri obat di dalam negeri masih ketergantungan bahan baku impor. Ada sejumlah tantangan yang dihadapi industri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam negeri.

Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengatakan, 95% bahan baku obat masih diimpor. Hal itu menurutnya sangat menggerus devisa negara.

"Keprihatinan kita dimulai dengan fakta 95 persen bahan baku obat itu dipenuhi dari impor yang menggerus devisa negara. Sementara dokter kita sudah terbiasa memberikan obat-obat ini kepada para pasiennya," kata Bambang, Minggu (08/11/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu cara agar impor bahan baku obat bisa ditekan adalah dengan mengkampanyekan Obat Modern Asli Indonesia (OMAI). Ia menilai selama ini dokter-dokter di Indonesia belum terbiasa memberikan resep obat-obatan herbal kepada pasiennya karena sudah terlanjur nyaman menggunakan obat-obatan kimia.

"Kalau dokternya tidak menggunakan OMAI dan tidak mengusulkannya masuk ke dalam daftar obat rujukan Kementerian Kesehatan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), industrinya tentu belum mau melakukan R&D," keluh Bambang Brodjonegoro.

ADVERTISEMENT

Sebagai informasi, OMAI belum dapat dijadikan obat rujukan JKN karena belum tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 54 Tahun 2018. Akibatnya, BPJS Kesehatan tidak meng-cover biaya pembelian obat-obatan herbal tersebut. Kondisi yang membuat pemanfaatan OMAI di dunia medis hanya sebatas pelengkap obat-obatan kimia.

"Kalau tidak masuk JKN, tentu OMAI susah bersaing dengan obat berbahan baku impor. Harus ada ketegasan kita prioritaskan bahan baku obat dari negara kita sendiri. Saya yakin kalau sudah masuk JKN akan ada banyak lagi pihak yang melakukan riset karena sudah ada fasilitas super tax deduction sampai 300% itu," ujar Bambang Brodjonegoro.

Pelaku usaha pun mengapresiasi langkah pemerintah yang menerbitkan PMK Nomor 153 Tahun 2020. Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS), Raymond R. Tjandrawinata menilai insentif pemotongan pajak tersebut akan merangsang pelaku industri farmasi untuk melakukan lebih banyak penelitian dan pengembangan OMAI.

"Tetapi kan PMK-nya ini baru terbit jadi butuh proses. Sekarang bagaimana caranya agar lebih banyak lagi dokter-dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI) untuk menggunakan OMAI. Caranya adalah harus masuk ke JKN, sehingga dokter tidak ragu meresepkannya ke pasien," kata Raymond R. Tjandrawinata.

Indonesia sendiri memiliki biodiversitas alam terbanyak kedua di dunia setelah Brazil, sehingga bahan baku herbal untuk membuat obat banyak tersedia. Namun sayangnya, pemanfaatan OMAI di Indonesia justru kalah dibandingkan negara-negara lain.

"Di Jerman, 53% pemanfaatan obat-obatan di sana adalah berbahan herbal. Di China itu 30% dan Korea 20%. Kita tertinggal karena tidak difasilitasi penggunaannya," ungkapnya.

Seperti diketahui, pekan lalu Presiden Joko Widodo menyebut Indonesia adalah negara kaya. Namun sayang, bahan baku obat masih diimpor.

"Kita tahu bahwa sekitar 90 persen obat dan bahan baku obat masih mengandalkan impor. Padahal negara kita sangat kaya dengan keberagaman hayati, baik di daratan maupun di lautan. Hal ini jelas memboroskan devisa negara, menambah defisit neraca transaksi berjalan, dan membuat industri farmasi dalam negeri tidak bisa tumbuh dengan baik," ujar Jokowi dalam video yang ditayangkan kanal YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis, (5/11/2020).



Simak Video "Video: BPOM-Kemhan Dorong RI Produksi Bahan Baku Obat Mandiri"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads