Wakil Menteri (Wamen) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Budi Gunawan Sadikin mengungkapkan saat ini banyak negara maju sedang berlomba-lomba berburu vaksin COVID-19. Rata-rata negara maju seperti AS, Jepang, Inggris hingga Australia bahkan dari jauh-jauh hari sudah colong start alias telah melakukan booking kepada para produsen vaksin.
Fenomena berburu dosis vaksin ini bukan tanpa sebab. Para negara maju haus vaksin karena mereka tau betul produksi vaksin setiap tahunnya cukup terbatas dibanding dengan jumlah manusia yang membutuhkan vaksin tersebut.
"Populasi di seluruh dunia mencapai sekitar 7-8 miliar penduduk. Kalo mau melakukan vaksin, maka minimal harus tersedia 70% dari populasi atau sekitar 5,5 miliar. Tapi kapasitas secara global hanya sekitar 6,2 atau 6,4 miliar dosis vaksin setiap tahun. Dan kita harus memvaksinasi 5,5 miliar orang itu setidaknya diberikan dua kali. Jadi butuh setidaknya 11 miliar dosis vaksin (dalam setahun)," ujar Budi dalam acara US-Indonesia Investment Summit secara virtual, Jumat (11/12/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itulah setiap negara maju terutama AS, Jepang, Inggris, Australia mereka melakukan booking vaksin untuk negara mereka," tambahnya.
Hal ini akan jadi masalah baru nanti bisa tidak diawasi secara ketat. Akan terjadi ketimpangan baru, yaitu ketimpangan antara negara maju dan negara miskin. Negara miskin mungkin butuh waktu yang lebih lama lagi untuk pulih dari pandemi ini, bila semua negara sibuk berburu vaksin.
"Kalo ada negara Afrika yang mau beli vaksin, mereka harus menunggu 18 bulan sebelum orang-orangnya dapat di vaksinasi," katanya.
Tak mau menjadi yang ikut terpinggirkan, pemerintah Indonesia, kata BGS sudah mengupayakan beberapa langkah penting. Pemerintah Indonesia, katanya sudah melakukan pendekatan ke banyak produsen vaksin sejak bulan September 2020 lalu.
"Kami mendekati beberapa produsen setidaknya ada empat perusahaan dari China yaitu Sinopharm Wuhan, Sinopharm Beijing, Sinovac, CanSino. Lalu tiga dari AS yaitu Johnson Pharmaceutical, Novavax, dan Moderna. Berikutnya satu di Jerman yaitu BioTech-Pfizer. Dan yang terakhir satu dari London yaitu Oxford yang bekerja sama dengan AstraZeneca," paparnya.