Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada 2022, termasuk hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL), kurang tepat. Mempertimbangkan merosotnya pertumbuhan industri hasil tembakau (IHT) sejak tahun lalu, dan diperkirakan belum akan pulih sampai akhir tahun. Kementerian Perindustrian berharap tak ada kenaikan cukai hasil tembakau pada 2022.
"Beberapa waktu lalu, kami diundang BKF (Badan Kebijakan Fiskal) terkait usulan cukai, kami mengusulkan agar tahun depan cukai, baik untuk rokok konvensional maupun HPTL tidak dinaikkan," ujar Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo, dikutip Kamis (26/8/2021).
Ia mengatakan, tahun 2020 lalu pertumbuhan industri rokok tercatat -9,7 persen. Begitu pun di tahun ini, dimana sampai kuartal I-2021 tercatat masih -5,7 persen. Adapun penerimaan cukai industri HPTL tercatat merosot sampai 28 persen sampai semester I-2021 menjadi Rp 298 miliar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) juga dikhawatirkan malah menambah beban IHT, dan berdampak pada kinerja sektor industri secara umum. Hal ini tentunya bisa menghambat target pertumbuhan ekonomi nasional yang ditetapkan pemerintah. Mengingat kontribusi sektor industri cukup signifikan bagi perekonomian.
Asisten Deputi Pengembangan Industri, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Atong Soekirman menyebutkan, kebijakan tarif CHT punya peran krusial terhadap perkembangan dan keberlangsungan IHT.
"Kebijakan cukai akan sangat berpengaruh terhadap industri tembakau. Sebelum 2004 misalnya tercatat ada sekitar 4 ribu pabrik rokok, sementara saat ini tersisa sekitar 400-500 pabrik. Artinya pelaku usaha terus berkurang. Kebijakan tarif cukai baik untuk rokok konvensional maupun e-cigarette (HPTL) ke depan pasti akan sangat mempengaruhi perkembangan industrinya," ungkapnya pada Webinar, Kamis (12/8/2021) lalu.
Lebih lanjut Atong menambahkan, sejatinya kenaikan tarif cukai juga tak serta merta akan mengerek naik penerimaan negara. Salah satunya terkait kepatuhan pelaku usaha yang cenderung berkurang saat tarif cukai tinggi. Sebagai contoh pada 2019 saat tarif tidak naik, penerimaan CHT justru meningkat Rp 12 triliun. Sebaliknya, pada 2020 saat CHT rata-rata naik 23 persen pertumbuhannya sebesar Rp 5,2 triliun.
Kepala Center of Industry Trade and Investement Indef, Andry Satrio Nugroho pun sepakat, kenaikan CHT berpotensi menjadi bumerang lantaran membatasi ruang pertumbuhan IHT. Ia menilai tarif CHT tak bisa hanya dilihat sebagai komponen penerimaan negara, tanpa memperhatikan keberlangsungan industrinya.
"Industri harus tumbuh untuk memberikan penerimaan negara yang optimal via cukai. Dengan kondisi pandemi dimana IHT sampai sekarang juga belum pulih, tidak menaikkan tarif cukai tahun depan sebenarnya bisa menjadi salah satu insentif, agar industrinya bisa bernafas lebih dulu," ungkapnya.
Baca juga: Penjualan Lesu, Setoran Cukai Vape Anjlok |
Secara spesifik Andry menggaris bawahi keadaan industri HPTL yang dinilai terdampak cukup parah akibat pandemi dan kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Sebab, industri HPTL yang masih sangat mengandalkan penjualan secara ritel saat ini terpaksa harus menutup toko akibat PPKM.
Guna menjaga keberlangsungan industri HPTL, Andry juga menyarankan pemerintah untuk mengubah skema tarif persentase yang berlaku saat ini menjadi spesifik tanpa ada kenaikan beban. Saat ini tarif cukai industri HPTL dipukul rata sebesar 57% dari harga jual eceran (HJE).
"Industri HPTL ini punya niche market, dan juga nilai tambah bagi perokok yang ingin beralih. Sehingga tahun depan mungkin bisa mulai diimplementasikan skema tarif spesifik tanpa kenaikan beban. Kemudian pemerintah bisa melihat seberapa cepat pemulihan industrinya, karena PPKM darurat itu sangat berpengaruh besar buat industri HPTL yang menggantungkan penjualan dari toko fisik," sambungnya
(hal/dna)