Pemerintah menaikkan target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 sebesar Rp 203,92 miliar atau tumbuh 11% dari outlook tahun 2021. Tarif cukai hasil tembakau (CHT) sendiri disarankan naik di atas 20% begitu juga dengan harga jual eceran (HJE) rokok.
Lalu apa kata konsumen alias perokok?
Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK), mewakili suara konsumen menyebutkan kenaikan cukai rokok akan berdampak pada konsumen (perokok). Koordinator KNPK, Muhammad Nur Azami mengatakan, perokok juga termasuk dalam mata rantai industri hasil tembakau.
"Konsumen sama pentingnya keberadaannya dengan petani, buruh pabrik dan juga pedagang. Semuanya adalah tulang punggung di industri hasil tembakau. Tapi ketika terdapat kenaikan tarif cukai yang terbebani paling pertama adalah konsumen karena kami yang membayar cukainya ketika membeli produk tersebut," kata Azam, sapaan akrabnya dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Senin (20/9/2021).
Dia mengatakan, rencana kenaikan cukai rokok semakin memperburuk daya beli masyarakat. Menurutnya, kondisi konsumen saat ini sangat berat karena terdampak pandemi COVID-19, sama-sama tidak memiliki uang, banyak pekerja yang dirumahkan, dikurangi jam kerja bahkan kehilangan pekerjaan.
"Ketika kondisi sulit seperti ini kami juga menanggung beban ekstra dengan kenaikan tarif cukai tersebut. Pemerintah melihat kami (konsumen) itu sebagai orang kesakitan, mengkonsumsi barang-barang yang berdampak pada kesehatan," ujarnya.
Padahal, kata dia, mengkonsumsi hasil olahan tembakau (rokok) dinilai sebagai kegiatan relaksasi dan refleksi. "Artinya indeks kebahagiaan kita bukan semata mengkonsumsi barang yang dianggap berbahaya atau apapun yang dinarasikan oleh kesehatan. Itu juga bisa dilihat dari bagian produktivitas kami, relaksasi kami dan untuk menunjang refleksi kami," tuturnya.
"Maka kami melihat bahwa indikator yang dipakai dalam kenaikan tarif cukai itu akal-akalan dari pemerintah untuk menutupi kenyataan bahwa negara sedang butuh uang. Maka yang dilihat masih liquid sampai dengan hari ini dan masih strategis untuk mengambil pendapatan dari sektor tembakau yang kemudian tentunya dibebankan juga pada konsumen," sambungnya.
(fdl/fdl)