Jakarta -
Kementerian Perindustrian mencatat industri makanan dan minuman (mamin) merupakan penyumbang kontribusi terbesar terhadap sektor industri pengolahan nonmigas pada triwulan II tahun 2021 yang mencapai 38,42% serta memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional mencapai 6,66%.
Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika, mengatakan capaian kumulatif sektor strategis ini dari sisi ekspor juga sangat baik, yaitu mencapai US$ 19,58 miliar atau naik 42,59% dari periode yang sama pada tahun sebelumnya tercatat senilai US$ 13,73 miliar.
Menurutnya, kinerja gemilang industri mamin ini perlu dijaga selama masa pandemi COVID-19, karena peran pentingnya dalam memasok kebutuhan pangan masyarakat.
"Industri mamin selama ini telah membawa dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional, seperti peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi, penerimaan devisa dari investasi dan ekspor hingga penyerapan tenaga kerja yang sangat banyak," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/9/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saat ini sendiri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki wacana untuk melakukan pelabelan semua kemasan makanan dan minuman yang beredar di pasaran dengan mencantumkan keterangan lolos batas uji aman zat aditif tertentu. Hal ini dinilai bisa mengganggu industri pangan yang ada di Indonesia.
"Kalau sampai dipaksakan BPOM harus diprotes. Kita nggak jualan jadinya, mati semua kita punya produk. Jelas akan mematikan industri. Belum lagi konsumen yang akan kesulitan untuk mencari makanan dan minuman karena nggak ada yang menjual produknya," ujar Ketua Federasi Pengemasan Indonesia (IPF) Henky Wibawa.
Sejatinya, Henky tidak mempermasalahkan BPOM untuk membuat peraturan pelabelan kemasan pangan asal infrastruktur sudah siap. "Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah BPOM nanti bisa menyediakan akreditasi di laboratorium yang cukup di Indonesia. Itu persoalannya," kata Henky.
Hampir seluruh kemasan pangan menggunakan pelapis plasti dari berbagai jenis. Bahkan penelitian di Amerika Serikat tahun 2016 menunjukkan 70 persen kemasan makanan minuman kaleng menggunakan pelapis berbahan Polikarbonat (PC). Di Indonesia, belum ada pengujian serupa karena diperlukan kesiapan dalam uji laboratorium.
Menurut Henky, banyak uji laboratorium yang tidak terlaksana karena laboratorium untuk melakukan tesnya itu dari BPOM sendiri masih terbatas dan tidak cukup banyak di Indonesia. "Saya dulu saja di perusahaan multinasional harus melakukan tes itu di luar negeri dengan biaya yang asangat mahal karena BPOM tidak bisa melakukannya," tuturnya.
Ditambahkan, selama BPOM tidak menyelesaikan dulu masalah infrastruktur laboratoriumnya yang lengkap di Indonesia, peraturan pelabelan yang dibuat itu akan percuma karena tidak bisa dilaksanakan.
"Kalau itu tidak dibereskan, ya peraturan itu tidak ada gunanya dan hanya menyusahkan orang saja. Orang mau mengeluarkan produk itu kan harus memakai kemasan. Nah, sekarang harus pakai label lolos batas uji aman dan itu harus melalui tes. Nah, kalau tesnya saja tidak ada tempatnya, dimana dia harus lakukan tesnya dan bagaimana dia mau melabeli kemasannya?" tandas Henky.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, mengatakan peraturan itu perlu dikomunikasikan terlebih dulu dengan para pelaku usahanya.
"Setiap peraturan itu kan harus dibahas secara bersama. Nggak sendiri. Mungkin ada masukan dari produsen. Karena ini kan mengakomodir tiga pihak, yaitu pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Kalau pemerintah itu membuat peraturan tapi tidak bisa diimplementasikan, kan konyol namanya," ujarnya.
Makanya, kata Sularsi, peraturan yang baik itu adalah yang bisa diimplementasi dan dikomunikasikan. "Jadi industri kan tetap harus hidup. Regulasi itu kan bukan untuk mematikan perusahaan, tetapi bahwa regulasi itu justru memberikan kepastian hukum untuk pelaku usaha, memberikan keamanan untuk pelaku usaha dan konsumen," ucapnya.