Selain itu, ia juga menyayangkan keputusan direksi untuk menjalankan proyek ini meski belum diuji coba.
"Tiga-empat minggu yang lalu di rapat BOD (Board of Director) BOC (Board of Commissioner) diputuskan bahwa fasilitas ini akan segera beroperasi. Saya langsung menyampaikan bahwa saya tidak setuju dan saya akan menyampaikan dissenting opinion," papar dia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia saat itu juga memaparkan bahwa blast furnace ini belum memiliki gas holder atau penyaring gas buangan, sehingga gas buangan yang dihasilkan dari proyek ini langsung dibuang ke udara.
"Sekarang saja mereka sudah berani operasi padahal belum menghasilkan hot metal. Sekarang kan sudah melakukan kegiatan walaupun gas holdernya belum selesai. Gas buangan produksi ini buangnya ke udara. Jadi saya melihat disuruhnya berproduksi ini sangat dipaksakan," tandasnya.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim kala itu tak lama menanggapi persoalan tersebut. Dia mengatakan, proyek blast furnace sudah dicanangkan sejak 10 tahun yang lalu, sehingga tidak bisa dipisahkan dari proses panjang strategi di era perusahaan yang lalu.
"Ini kan sempat delay, terus kemudian saya masuk diminta untuk menyelesaikan proyek ini dan kemudian menjalankan. Kemudian saya lihat, biasanya kalau saya masuk ditugaskan ke BUMN baru itu saya lihat temuan BPK-nya apa," ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Silmy mengatakan, saat dia masuk ada 30 temuan BPK terhadap Krakatau Steel. Kemudian perusahaan menindaklanjuti temuan itu hingga tersisa 9 temuan.
"Nah di 9 temuan ini, 4 di antaranya mengenai blast furnace. Kita kan menyikapi ini mesti bijak. Proyek ini harus selesai," ujarnya.
Lantaran tak mau urusan semakin pelik, Silmy pun berupaya untuk menyelesaikan proyek blast furnace yang masuk sebagai temuan BPK itu. Dia berpandangan jika proyek yang molor tiga tahun itu tidak dijalankan maka persoalannya semakin berat.
"Kemudian kita bicara potensi rugi. Potensi rugi gini maksudnya, misalnya dulu waktu feasibility study, harga dari pada produk yang dihasilkan cost-nya misalnya US$ 400, tapi kemudian karena delay dan lain sebagainya menjadi US$ 500 misalnya, ya biayanya ada penambahan," tambahnya.
Untuk urusan potensi kerugian itu, Silmy tak ambil pusing. Menurutnya fokus pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan proyek yang sudah molor itu, karena jika dibiarkan maka potensi kerugian akan semakin besar.
"Ya masalah nombok kan masalah proyek dulu, itu angkanya perlu dicek ulang. Nanti kalau sudah selesai baru ketahuan berapa besarnya. Pokoknya semua itu harus dijalankan secara lengkap, nggak bisa berdasarkan asumsi. Tidak ada klarifikasi dari pihak ketiga. Kan perlu ada proses menyatakan bahwa ini tidak efisien, kan harus diperiksa," tutupnya.
(acd/ara)