Petani Surati Jokowi Minta Sri Mulyani Cabut Pungutan Sawit

Petani Surati Jokowi Minta Sri Mulyani Cabut Pungutan Sawit

Shafira Cendra Arini - detikFinance
Jumat, 15 Jul 2022 09:37 WIB
Petani Sawit
Foto: istimewa
Jakarta -

Petani sawit melayangkan surat terbuka untuk Presiden RI Joko Widodo yang berisi beberapa permintaan. Mulai dari pencabutan domestic market obligation (DMO) hingga penghapusan pungutan ekspor (PE).

Surat ini disampaikan oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) kepada Presiden RI Joko Widodo pada Kamis (14/07/2022). Dalam surat tersebut, Apkasindo menyampaikan 5 (lima) saran kepada pemerintah demi keberlanjutan kesejahteraan para petani dan buruh sawit.

"Bapak Presiden Yang Terhormat, berdasarkan poin Dasar dan Pembahasan di atas maka perlu dilakukan langkah strategis kebijakan dalam upaya percepatan menyeimbangkan antara ketersediaan, kebutuhan dan keterjangkauan minyak goreng dengan tatakelola perkelapasawitan Indonesia sebagai berikut," tulis APKASINDO dalam surat tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada butir pertamanya, Apkasindo mengawalinya dengan saran pencabutan domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO) dan Flush
Out (FO). Menurutnya, karena ketiga beban ini dianggap sudah tidak efektif pada saat ini.

Berikutnya, Apkasindo menyampaikan saran berupa peniadaan Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) untuk sementara waktu. Atau paling tidak, pemerintah dapat melakukan penurunan PE dari US$ 200 menjadi US$ 100 dan menurunkan Bea Keluar dari US$ 288 menjadi US$ 100 serta Menghapus Flush out US$ 200.

ADVERTISEMENT

Asumsi yang digunakan adalah jika beban CPO sudah diturunkan maka harga CPO domestik akan terangkat, harga TBS kembali baik, Ekspor akan kembali lancar, dan kondisi saat ini harga Minyak Bumi di atas harga CPO.

Selain itu, Apkasindo juga berharap pemerintah dapat melakukan peningkatan konsumsi CPO dalam negeri melalui memberlakukan mandatori Biodiesel dari B30 ke B40. Hal ini dilakukan untuk menjaga supaya harga CPO global tidak terkoreksi (turun) akibat ekspor (stok CPO Indonesia).

"Supaya ketersediaan CPO dalam negeri yang diperkirakan mencapai 7 juta ton bisa segera terserap paling tidak 3 juta ton untuk peningkatan dari B30 ke B40," tulis Apkasindo.

Lebih lanjut pada butir berikutnya, Apkasindo juga memerintahkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN melakukan pengawasan melekat kepada Kantor Pemasaran Bersama (KPBN).

"Supaya proses tender di KPBN patuh terhadap harga referensi Kementerian Perdagangan sebagaimana diatur dalam Permendag No.55 Tahun 2015 dan memastikan tidak ada yang mengambil keuntungan sepihak di masa pemulihan ini," tambahnya dalam tulisan tersebut.

Lanjut ke halaman berikutnya.

Pada butir terakhir atau yang kelima, para petani sawit ini meminta Kementerian Pertanian untuk segara merevisi Permentan 01 Tahun 2018 tentang Tataniaga TBS. Sebab, ternyata Permentan ini hanya diperuntukkan bagi Petani yang bermitra.

"Faktanya luas kebun petani yang bermitra tidak lebih dari 7% dari total luas perkebunan rakyat (6,72 juta hektar), sisanya adalah petani swadaya yang melakukan usaha taninya secara mandiri dan menggunakan harga referensi Kemendag untuk menjadi referensi perhitungan tandan buah segar (TBS).

Demikian saran mengenai langkah startegis yang perlu diambil pemerintah demi kesejahteraan petani sawit yang ditulis oleh APKASINDO.

Sebagai tambahan informasi, dalam surat terbeut APKASINDO juga menjabarkan kondisi di lapangan mengenai harga TBS yang tengah mengancam kesejahteraan petani dan buruh sawit.

"Kondisi petani sawit saat ini sangat memprihatinkan karena harga TBS (tandan buah sawit) di PKS berada pada angka rerata Rp.800/kg TBS untuk petani swadaya dan Rp.1.200/kg untuk petani bermitra. Harga ini akan lebih rendah jika petani sawit menjualnya ke pedagang pengumpul yaitu kisaran Rp.300-600/kg TBS," tulis APKASINDO.

Padahal biaya produksi (HPP) saat ini sudah mencapai Rp 1.850-Rp 2.250/kg dimana enam bulan lalu biaya produksinya hanya Rp 1.200/kg. Kenaikan biaya produksi ini cenderung diakibatkan kenaikan saprodi, terkhusus pupuk dan herbisida yang sudah mencapai 300%. Harga pupuk tidak terkendali dan tidak ada kebijakan kementerian terkait untuk mengendalikannya, padahal komponen Pupuk 60% dari total biaya produksi TBS (HPP).

Selain itu, meski pemerintah telah menetapkan pedoman perhitungan harga TBS milik pekebun (Permentan 01 Tahun 2018). Di dalam regulasi tersebut dinyatakan bahwa untuk melakukan perhitungan TBS, Harga CPO yang menjadi acuan bukan harga referensi Kementerian Perdagangan, melainkan harga tender CPO yang dihasilkan oleh KPBN.

Dia mengatakan, secara normatif jika melihat harga CPO KPBN bulan Juli sebesar Rp. 7.305/Kg. maka dapat dihitung harga TBS akan berada pada kisaran Rp.1.460/kg (dengan asumsi rendemen TBS sebesar 20%). Lebih lanjut, apabila dilakukan perbandingan jika patokan harga CPO berdasarkan harga Referensi Kemendag, setelah dikurangkan dengan pajak dan pungutan serta biaya flush out, maka harga TBS Petani akan berada pada kisaran Rp.2.725/kg TBS (selisih nya Rp.1.265/kg TBS).

"Dari perbandingan harga CPO KPBN dengan Harga Referensi Permendag untuk menetapkan harga TBS Petani, menggambarkan bahwa proses tender di KPBN tidak kompetitif dan proporsional sehingga harga CPO hasil tender KPBN selalu jauh dibawah harga referensi Kemendag, dan berakibat hancurnya harga TBS di tingkat petani," ujar APKASINDO.

"Sehingga himbauan Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian untuk PKS membeli TBS petani Rp 1.600 tidak dipatuhi," tambahnya.

(fdl/fdl)

Hide Ads