Pemerintah lewat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memutuskan untuk menyetop sementara pengenaan pungutan ekspor sawit dan produk turunan sawit hingga akhir Agustus 2022.
Sejak pertama kali diterapkan, pengenaan dana sawit sering menuai pro dan kontra.
Dalam laporan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di tahun 2019 berjudul Salah Kaprah Dana Sawit, disebutkan bahwa pungutan sawit telah berdampak pada penurunan harga tandan buah segar (TBS) di tingkat petani.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Terbukti, dengan pungutan US$ 50/ton, harga tandan buah segar (TBS) petani telah mengalami penurunan sekitar Rp 120-150/kg," tulis laporan tersebut dikutip dari situs resmi SPKS, Rabu (3/8/2022).
Dalam konteks kekinian, dampaknya pada penurunan harga TBS sawit bisa lebih besar lantaran saat ini besaran pungutan sawit telah mencapai US$ 200/kg.
Dengan tekanan yang diterima petani imbas pungutan sawit, petani justru jadi pihak yang paling minim menerima manfaat dari dana pungutan sawit tersebut.
Benar saja, sejak Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pembentukan Bandan Pengelola Dana Perkebunan Sawit (BPDP-Sawit) pada tahun 2015, BPDP-Sawit sudah mengumpulkan dana kurang lebih sekitar Rp 137,28 triliun dari potongan penjualan ekpor CPO (Crude Palm Oil) hingga 2021.
Penggunaan dana yang dikumpulkan tersebut tidak banyak memberikan dampak kepada petani sawit karena dana pungutan sawit lebih banyak digunakan untuk memenuhi insentif mandatori biodiesel.
Total insentif yang diterima oleh produsen biodiesel sekitar Rp 110,05 triliun dalam periode 2015-2021 atau mencapai 80,16% dari total dana sawit. Namun anggaran untuk industri sawit justru sangat minim. Hingga tahun 2021, dari total dana pungutan sawit, anggaran peremajaan sawit hanya sebesar Rp 6,59 triliun atau setara 4,8%.
Sementara anggaran pengembangan SDM (petani) hanya Rp 199 miliar atau hanya 0,14% dari total dana sawit.
Kondisi itu tak lepas dari pergeseran fokus yang timbul selama penyusunan regulasi turunan terkait pemanfaatan dana sawit itu sendiri.
Mulanya pada 17 Oktober 2014, UU No. 39 thn 2014 Tentang Perkebunan Pasal 93 ayat (4) diamanatkan bahwa penghimpunan dana dari pelaku usaha perkebunan digunakan untuk:
a. pengembangan sumber daya manusia,
b. penelitian dan pengembangan,
c. promosi perkebunan,
d. peremajaan,
e. tanaman perkebunan dan/atau sarana dan prasarana perkebunan.
Namun, dalam peraturan turunan yang terbit pada 25 Mei 2015 lewat PP 24 thn 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Perpres No 61 thn 2015 Tentang Penghimpunan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, pemanfaatan dana sawit mulai digeser untuk bahan bakar jenis biodiesel.
Dalam PP 24 thn 2015 pasal 9 ayat (2) b berbunyi, pemenuhan hasil Perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan hilirisasi industri Perkebunan.
Klausul serupa juga muncul dalam Perpres No. 61 thn 2015 pasal 11 ayat (2) yang berbunyi Penggunaan Dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk dalam rangka pemenuhan hasil Perkebunan Kelapa Sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Dari sana, cukup bisa dipahami bagaimana pemanfaatan dana sawit saat kini terkesan melenceng dari tujuan awal dibentuknya dana sawit tersebut.
"Dari aturan tersebut jelas, dana pungutan ekspor bukan hanya untuk biodiesel. Tapi prakteknya mayoritas untuk subsidi biodiesel. Artinya dana yang dihimpun tidak kembali ke
petani, khususnya untuk pengembangan sember daya manusia dan replanting," kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva saat berbincang dengan detikcom belum lama ini.
![]() |
Yang juga menjadi sorotan adalah soal pelaksanaan penggunaan dana pungutan sawit yang rentan penyelewengan. Maklum saja, pemanfaatan dana sawit berupa pengembangan biodiesel tidak dibuka luas melainkan hanya ke segelintir perusahaan yang ditunjuk lewat skema penunjukan langsung.
Lagi-lagi, kondisi ini dimungkinkan imbas keberadaan regulasi yang ditetapkan pemerintah.
Misalnya pada Permen ESDM No. 29 thn 2015 Pasal 6 ayat (9) disebutkan Penetapan Badan usaha BBN jenis Biodiesel dan alokasi besaran volume BBN jenis Biodiesel sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi dasar Badan usaha BBM Tertentu melakukan penunjukan langsung.
Hamdan mengingatkan bahwa tahun 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah merilis pernyataan tentang potensi korupsi pungutan ekspor sawit.
"Subsidinya salah sasaran. Dinikmati oleh korporasi besar yang oknum pejabatnya tersangkut kasus korupsi minyak
goreng," tutur dia.
Tak berhenti sampai di situ, pungutan sawit juga disinyalir turut mempengaruhi industri sawit di sisi hilir.
Adanya pungutan sawit menjadi tambahan beban tersendiri. Pabrik pengolahan produk hilir mendapat minyak sawit atau CPO dengan harga yang lebih tinggi karena dibebani pungutan tadi. Imbasnya, produk hilir seperti minyak goreng menjadi lebih tinggi.
(dna/dna)