Di kalangan wartawan saat ini beredar draf Peraturan Presiden tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional. Dari judulnya, perpres itu mestinya memuat beleid kemandirian pangan, khususnya di bidang gula, dan menghentikan ketergantungan impor.
Direkrut Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Budi Hidayat, membenarkan bahwa perpres tersebut memang ada. Pemerintah saat ini masih menyusun perpres tersebut dan saat izin impor gula 2022 baru dikeluarkan.
"Ingat saya (Perpres) masih dalam pembahasan tim di Kemenko Perekonomian. Untuk impor gula biasanya dibahas dalam Rakortas Kemenko Perekonomian juga dengan membuat neraca komoditas. Untuk izin impor 2022 baru datang, di tambah saat ini lagi musim giling pabrik gula, sehingga stok gula konsumsi cukup," ujar Budi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam draf Peraturan Presiden tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional yang sedang disusun, pemerintah menargetkan tambahan 700.000 hektare lahan tabu yang bersumber dari lahan perkebunan, perhutanan sosial, sistem pertanian tanam dan tanaman kehutanan yang ditanam dalam lahan yang sama (argro forestry) dan tebu rakyat.
Menanggapi perpres tersebut, Seketaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (Aptri), Nur Khabsin, menyebut perpres itu tak lebih program omong kosong. Tujuannya hanyalah rebutan kuota impor gula.
"Rencana itu hanya akal-akalan saja, omong kosong semua itu, pemerintah itu dari dulu, sejak zaman Presiden SBY sampai sekarang Pak Jokowi dua periode, program swasembada meleset semua, tidak ada yang tercapai, mereka hanya berebut kuota impor saja, tujuan mereka hanya ingin impor tapi dibungkus program swasembada," tegas Nur dihubungi detik Finance.
Nur menjelaskan, setiap tahunnya Indonesia rata-rata mengimpor gula konsumsi mencapai 1 juta ton dan mengimpor 100 persen gula rafinasi dalam bentuk raw sugar. Padahal, salah satu syarat para importir gula ketika mendapatkan kuota impor, baik BUMN maupun swasta wajib menambah area perkebunan tebu.
Pasalnya, sejak bertahun-tahun lamanya tidak ada penambahan luas area perkebunan tebu nasional, dari dulu sampai menurut data yang dimiliki APTRI, jumlahnya hanya 400.000 haktare, PTPN III hanya sekitar 50.000 hektare sebagian besar milik petani.
"Jadi omong kosong kalau mau nambah area perkebunan tebu jadi 700.000 hektare, wong nambah 50.000 aja ngak bisa dari dulu. Cari di mana lahan seluas itu, di Jawa ya ngak mungkin, di Sumatera? kalah sama sawit karena lebih menguntungkan namam sawit daripada tebu, di Papua? bisa tapi kan tidak ada pabriknya di sana, bawa ke Jawa tebunya ya keburu busuk," jelas Nur.
Bersambung ke halaman selanjutnya.