Rita mengatakan BPOM telah melakukan kajian paparan BPA dengan hasil bahwa kelompok rentan pada bayi usia 6-11 bulan berisiko 2,4 kali, sementara anak usia 1-3 tahun berisiko 2,12 kali dibandingkan kelompok usia dewasa 30-64 tahun.
"Kesehatan bayi dan anak merupakan modal paling dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing yang merupakan salah satu tujuan RPJMN 2020-2024," cetus Rita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
BPOM juga melakukan kajian kerugian ekonomi dari dampak masalah kesehatan akibat BPA yang bermigrasi dari galon ke dalam air kemasan. Pada sistem reproduksi pria dan wanita, BPA merupakan endokrin disruptor, yaitu zat kimia pengganggu fungsi hormon normal, seperti infertilitas atau gangguan kesuburan.
Mengutip hasil studi Cohort di Korea Selatan pada 2021, ada korelasi peningkatan infertilitas pada kelompok tinggi paparan BPA dengan odds ratio atau rasio paparan penyakit hingga 4,25 kali.
"Diperkirakan beban biaya infertilitas pada konsumen air minum dalam kemasan yang terpapar BPA berkisar Rp16 triliun-30,6 triliun dalam periode satu siklus in-vitro fertilization (IVF)," urai Rita.
Di lain sisi, regulasi pelabelan BPA dikhawatirkan dapat mengganggu kinerja bisnis air galon dalam kemasan. Berdasarkan data pada 2021, total pendapatan pasar air minum dalam kemasan di Indonesia mencapai 10,51 miliar dolar AS atau ekuivalen dengan Rp 149,9 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rachmat Hidayat mengklaim selama puluhan tahun galon guna ulang BPA tidak menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia dan juga di dunia.
"Jangan lupa, galon polikarbonat digunakan juga di negara- negara lain di dunia," ujar Rachmat.
(akd/hns)