Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan tetap konsisten menolak draft Peraturan Presiden (Perpres) swasembada gula. Draft tersebut dipandang malah menambah masalah baru, ketimbang menjadi solusi.
Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APTRI, Soemitro Samadikoen dalam acara Konsultasi Publik terkait Perpres Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar (Biofuel) di Jakarta, Selasa kemarin.
Menurut Soemitro, dalam Rancangan Perpres tersebut, penugasan kepada PTPN III untuk melaksanakan program tersebut, terkesan hanya pemberian hak monopoli dan sebagai legitimasi untuk pelaksanaan impor. Monopoli impor gula hanya akan menjadikan PTPN III sebagai makelar dimana dia akan menjual gula impor kepada perusahaan gula lain.
"Rancangan perpres ini sebagai alat/memfasilitasi untuk menyelamatkan anak perusahaan PTPN III yakn PT SGN (sugar co) mendapatkan mitra bisnis," kata Soemitro, dalam keterangannya, Rabu (02/11/2022).
Tidak hanya itu, ia mengatakan, program perluasan lahan seluas 700 ribu hektar juga mustahil dilakukan karena kondisi riil di lapangan saat ini, lahan PTPN III hanya berkisar 153 ribu hektar dimana 100 ribu hektar di antaranya justru milik petani.
"Bahkan pabrik gula milik PTPN III banyak ditutup karena kekurangan bahan baku. Lahan HGU milik PTPN III juga banyak mangkrak. Dalam kontek perluasan lahan 700 ribu hektar PTPN III tidak mampu," lanjutnya.
Oleh karena itu, Soemitro mengatakan, pihaknya berkesimpulan program swasembada gula yang dicanangkan pemerintah sebenarnya terdistorsi atau dihambat sendiri oleh kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani.
Ia pun mengambil contoh pada kebijakan Harga Pokok Pembelian (HPP) gula petani yang tak pernah naik antara tahun 2016 sampai 2022 yakni Rp. 9,100/kg. HET baru dinaikkan menjadi 11.500/kg pada awal giling tahun 2022, itupun petani masih rugi karena kenaikan biaya produksi akibat kenaikan BBM.
Bersambung ke halaman selanjutnya.