Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sampai saat ini Indonesia punya komitmen kuat untuk melakukan dekarbonisasi. Hanya saja yang jadi masalah adalah pendanaan untuk melakukan hal itu menjadi batu sandungan.
Sampai saat ini semua rencana sudah dipersiapkan secara matang oleh pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi, hanya saja pendanaan untuk melakukan hal tersebut belum ada.
"Menurut saya ketika kita berbicara tentang keberlanjutan, kita semua selalu dihadapkan pada batu sandungan, hal itu adalah pendanaan," beber Sri Mulyani saat berbicara dalam Gala Dinner Indonesia Sustainable Forum (ISF) 2023, di Hotel Park Hyatt, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2023) malam.
Dia memaparkan Indonesia saat ini butuh sekitar US$ 280 miliar atau sekitar Rp 4.284 triliun (kurs Rp 15.300) untuk menekan jumlah emisi karbon sebesar 40%.
Menurutnya, APBN hanya akan berkontribusi tak sampai 30% dari total kebutuhan tersebut. Sisanya ditopang oleh pendanaan dari pihak lain, termasuk skema blended finance yang salah unsurnya adalah bantuan dari negara-negara maju.
"Estimasinya, Indonesia bisa mencapai target National Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi karbon dioksida hingga lebih 40% dengan bantuan internasional, itu butuh biaya sebesar US$ 280 miliar. Uang negara hanya berkontribusi tak lebih dari 30% di dalamnya," papar Sri Mulyani.
Menurutnya pembicaraan soal bantuan untuk melakukan dekarbonisasi selama ini sering hanya menjadi wacana. Padahal, semua isu sudah teridentifikasi, termasuk kebutuhan biaya dan program apa saja yang akan dilakukan.
"Jadi seharusnya ini semua menjadi sebuah isu yang teridentifikasi secara nyata bukan lagi sekedar bicara soal uang triliunan saja," kata Sri Mulyani.
Dekarbonisasi sendiri harus banyak dilakukan dalam sektor pembangkit energi, pasalnya masih banyak sekali pembangkit energi di Indonesia yang menyumbang banyak karbon.
Dia juga menekankan bahwa Indonesia akan terus bertumbuh penduduknya, hal ini membuat permintaan energi akan jauh lebih tinggi.
"Indonesia akan terus bertumbuh dan elastisitas permintaan energi akan jauh lebih tinggi. Artinya, setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, kita akan mengalami pertumbuhan energi yang jauh lebih besar," ungkap Sri Mulyani.
(hal/eds)