Bakal Kena Cukai, Minuman Berpemanis Naik Harga Jadi Berapa?

Lumongga Harahap - detikFinance
Jumat, 06 Okt 2023 17:53 WIB
Ilustrasi/Foto: rengga sancaya
Jakarta -

Kementerian Keuangan memproyeksikan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dikenakan cukai pada 2024 mendatang. Dalam Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024, target penerimaan dari pungutan tersebut diproyeksi sebesar Rp 3,08 triliun.

Pungutan cukai ini diharapkan mampu menekan jumlah konsumsi minuman berpemanis dalam rangka menekan tingkat penyakit tak menular (PTM), seperti diabetes dan obesitas. Rencananya, tarif cukai MBDK untuk teh kemasan dikenakan Rp 1.500 per liter, lalu untuk produk karbonasi Rp 2.500 per liter, dan untuk produk minuman berpemanis lainnya seperti energy drink, kopi, konsentrat dan lainnya juga Rp 2.500 per liter.

Jika mengacu pada tarif cukai MBDK yang diusulkan pada 2020 tersebut, Ketua GAPMMI, Adhi S. Lukman, mengatakan harga pada produk bisa naik hingga 50%. Kenaikan tersebut dinilai cukup tinggi dan akan memengaruhi daya saing industri.

"Kan harga minuman itu satu liter itu sekitar Rp 3.000-4.000an per liter. Kalau Rp 1.500 atau Rp 2.000 itu 50% dari harga COGS (cost of goods sold) kita, lho. Itu mahal sekali. Mahal sekali," katanya dalam d'Mentor, Kamis (5/10/2023).

Artinya, harga produk minuman berpemanis tersebut berpotensi naik hingga 50%.

Sebelumnya diketahui Filipina dan Thailand yang sudah memberlakukan cukai MBDK berhasil menekan konsumsi gula. Produsen MBDK juga turut mereformulasi produknya agar tidak dikenakan cukai agar maupun menurunkan harga cukai yang dikenakan di produknya.

Bawono Kristiaji, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center, berpendapat bahwa nilai tersebut efektif untuk mencapai target.

"Orang itu akan lebih bereaksi ketika mau membeli sesuatu. Itu termometernya adalah harga," ucap Bawono.

Namun demikian, Bawono menyebutkan, formula pengenaan cukai MBDK harus benar-benar matang agar tepat sasaran dan mencapai target. Ia beranggapan pengenaan tarif cukai dan mekanisme yang tepat dapat berhasil menekan PTM dan konsumsi MBDK.

"Kalau misalkan tarifnya optimal, mungkin produsen ini nggak akan bisa absorb biaya. 'Kan mau nggak mau dia menyesuaikan harga, tapi yang terjadi demand turun yang jadinya industri ini justru bakal goyah. Dan akhirnya, penerimaannya juga gak akan dapat," tutur Bawono.




(eds/eds)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork