Aliansi Masyarakat Tembakau (AMTI) menyayangkan rencana pengesahan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) terkait Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang diketahui akan dilakukan akhir September 2024.
Ketua AMTI I Ketut Budhyman Mudara, mengatakan petani tegas menolak pengesahan itu sebagai turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Hal ini disayangkan karena menurutnya Kementerian Kesehatan terburu-buru menyusun RPMK dan mengabaikan dampak masif polemik penolakan akan PP Kesehatan.
Budhyman menilai Kemenkes abai terhadap nasib 6 juta tenaga kerja yang akan terdampak dari langkah pengetatan Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik. Para petani khawatir kebijakan tersebut akan menurunkan kesejahteraan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"2,5 juta petani tembakau, 1,5 juta petani cengkeh, 600 ribu pekerja SKT, UMKM hingga pekerja kreatif akan jadi korban pengetatan kebijakan di hilir yang buru-buru disiapkan pemerintah dengan alasan mengendalikan konsumsi tembakau. Ada ancaman nyata di depan mata atas jika tidak peka dan hati-hati dalam menyiapkan aturan," kata dia dalam keterangannya, dikutip Sabtu (7/9/2024).
Menurutnya, peraturan yang disusun pemerintah tidak bisa hanya mementingkan kesehatan, namun mengabaikan aspek lainnya. Budhyman juga menyoroti kebijakan kemasan polos yang dikhawatirkan membunuh ekosistem tembakau nasional.
Selain menambah beban bagi ekosistem pertembakauan, menurut Budhyman upaya kejar target Kemenkes ini juga dilakukan dengan proses penyusunan yang cacat karena tidak adanya pelibatan pemangku kepentingan terdampak dan konsultasi lintas Kementerian/Lembaga yang menaunginya.
Dia juga mengungkap kekecewaannya karena pemerintah abai terhadap prinsip partisipasi bermakna dalam Public Hearing Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang diselenggarakan Kemenkes pada Selasa (3/9).
"Seharusnya public hearing itu dilakukan secara fair. Representasi hulu hingga hilir ekosistem pertembakauan wajib diundang, diberi ruang untuk memaparkan fakta dan realita. Yang terjadi sebaliknya, hanya tiga elemen yang diundang," terangnya.
"Hari ini kami nekat hadir untuk menunaikan hak kami sebagai warga negara yang dilindungi oleh Undang-Undang untuk memberikan masukan walaupun tidak diundang oleh Kemenkes. Sementara elemen pemerhati kesehatan dan berbagai LSM yang mengatasnamakan kesehatan diundang hampir 50 asosiasi," tambah dia.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) K Muhdi turut menyampaikan kekecewaannya pada Kemenkes atas Public Hearing Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang tidak adil dan berimbang dalam menerima masukan dari elemen hulu ekosistem pertembakauan.
"Hasil panen tembakau tahun ini sangat baik. Namun, kebijakan pemerintah ini justru membuat petani kecewa dan khawatir hasil produktivitas mereka tidak terserap baik. Akhirnya akan berdampak pada turunnya kesejahteraan petani. Petani tembakau tidak diundang untuk hadir dan menyampaikan masukan. Kemenkes tega sekali dengan petani, mentang-mentang kami rakyat kecil lantas diperlakukan tidak adil" tegasnya.
Muhdi menyebutkan para petani di sentra tembakau seperti Madura, Ngawi, Bojonegoro, hingga Temanggung sedang menyiapkan panen mereka.
"Ketika luasan areal tanam bertambah, minat petani menanam tinggi, pemerintah malah abai. Bukannya mendorong dan mendampingi agar kesejahteraan petani meningkat, malah menekan dengan peraturan yang sangat mendiskriminasi dan mengancam hajat hidup petani,"ucapnya.
Anggota Komisi IV DPR Daniel Johan pun turut mewanti-wanti implementasi PP No 28 tahun 2024 juga akan berdampak luas. Ia menekankan bahwa pemerintah harus mempertimbangkan dampak besar yang diterima oleh rakyat kecil dari penerapan PP 28/2024.
Ruang lingkup pengamanan Zat Adiktif yang termuat pada Pasal 429-463 dalam PP 28/2024 dinilai akan berdampak ganda (multiplier effect) bagi kelangsungan industri kretek nasional legal di tanah air.
"Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah harus membela rakyat kecil. Selain itu industri juga perlu dilindungi karena kalau pabrik bangkrut akibat regulasi yang dikeluarkan, gelombang PHK akan banyak dan dampaknya pengangguran jadi meningkat," tambahnya.
(ada/ara)