Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan, termasuk anggota DPR RI. Regulasi ini dinilai tidak hanya membebani industri hasil tembakau (IHT), tetapi juga berpotensi mengganggu ekonomi dan mengancam lapangan kerja.
Sejumlah pasal dalam PP 28/2024 dianggap terlalu membatasi ruang gerak industri. Di antaranya, larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dan pembatasan iklan luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa merek (plain packaging) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), yang merupakan aturan turunan dari PP ini.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Nurhadi menegaskan pentingnya keberpihakan pemerintah terhadap sektor yang menyangkut hajat hidup rakyat kecil. "Kami di Komisi IX DPR RI mendorong pemerintah untuk memperkuat perlindungan terhadap petani dan pekerja di sektor ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (4/7/2025).
Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya menyebut kebijakan ini kontraproduktif terhadap upaya penciptaan lapangan kerja dan pemulihan ekonomi. "Alih-alih membuka lapangan kerja, kebijakan ini justru mengancam hajat hidup orang banyak. Alih-alih menghidupkan ekonomi, kebijakan ini malah meredupkan sektor usaha khususnya industri hasil tembakau," imbuhnya.
Ia juga memperingatkan potensi PHK besar-besaran akibat tekanan regulasi yang berlebihan, termasuk rencana plain packaging yang dinilai akan menggerus daya saing industri nasional.
Dari Komisi VII DPR RI Fraksi Gerindra, Bambang Haryo menilai PP 28/2024 bertentangan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. "Padahal Pak Prabowo punya target serapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi naik 8 persen. Sehingga ini perlu dukungan dari industri tembakau," tegas dia.
Senada, Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan menekankan pentingnya perlindungan terhadap komoditas strategis nasional seperti tembakau. Ia bahkan mendorong lahirnya regulasi khusus untuk menjamin keberlanjutan sektor ini.
"Industri tembakau memegang peranan penting terhadap ekonomi nasional terutama cukai rokok setiap tahun sangat besar. Berdasarkan data yang kami miliki menyatakan bahwa cukai dari rokok memberikan kontribusi hingga Rp1.516,16 triliun dalam kurun 10 tahun terakhir," papar Daniel.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi Golkar, Lamhot Sinaga menyoroti dampak lanjutan dari kebijakan plain packaging yang dinilai dapat memperparah ketidakstabilan ekonomi nasional. "Terkait wacana penyeragaman kemasan rokok yang diambil dari aturan asing yakni FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), tentu saya tidak sepakat. Dari segi industri, ini tentu tidak menguntungkan," pungkasnya.
(ily/fdl)