Peredaran rokok ilegal di Indonesia kian meresahkan. Tak hanya mengganggu industri hasil tembakau (IHT), maraknya rokok ilegal juga berpotensi membuat negara kehilangan penerimaan hingga Rp 25 triliun per tahun.
Data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat, pada 2023 sebanyak 253,7 juta batang rokok ilegal berhasil diamankan. Jumlah ini melonjak tajam pada 2024 menjadi 710 juta batang dengan nilai mencapai Rp 1,1 triliun. Secara keseluruhan, kerugian negara akibat rokok ilegal diperkirakan mencapai Rp 15-25 triliun per tahun.
Padahal, IHT merupakan salah satu penyumbang terbesar penerimaan negara lewat Cukai Hasil Tembakau (CHT). Pada 2024, penerimaan CHT mencapai Rp 216,9 triliun atau sekitar 73% dari total penerimaan cukai nasional.
Ekonom Senior sekaligus Dewan Pakar Apindo, Wijayanto Samirin, menilai kondisi ini tak bisa dilepaskan dari persoalan regulasi. Menurutnya, sejumlah pasal dalam PP 28/2024 justru membuka celah bagi peredaran rokok ilegal, sementara pengawasan di lapangan masih lemah.
"Deregulasi asal tidak berhenti pada peraturan, tetapi harus berujung pada implementasi di lapangan dan berorientasi hasil, bukan prosedur, akan membantu menekan aktivitas ekonomi ilegal," ujarnya, Kamis (28/8/2025).
Ia menyoroti aturan zonasi larangan penjualan dan iklan rokok dalam PP 28/2024, serta wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa merek dalam rancangan Permenkes. Kebijakan ini, menurutnya, justru melemahkan daya saing produk legal dan mendorong pasar rokok ilegal tumbuh subur.
Selain regulasi, tingginya tarif cukai rokok juga disebut jadi pemicu. "Besarnya porsi shadow economy terhadap PDB dipengaruhi kepastian dan penegakan hukum. Semakin buruk kualitas penegakan hukum, maka semakin subur pula shadow economy bertumbuh," tambahnya.
EY Global Shadow Economy Report 2025 bahkan menunjukkan, nilai shadow economy Indonesia saat ini mencapai 23,8% dari total PDB atau sekitar US$ 326 miliar. Potensi kehilangan pajak akibat aktivitas ini ditaksir mencapai Rp 500 triliun per tahun.
(rrd/rrd)