Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Zulfikri menganggap membandingkan angka tersebut harus secara apple to apple atau setara.
"Kalau kita nggak lihat apple to apple dengan pekerjaan yang sama, sebenarnya nggak pas kita bandingkan itu," katanya kepada detikFinance, Jakarta, Jumat (22/6/2018).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah sekarang saya tanya US$ 8 juta itu kan Rp 100 miliar, itu variasinya banyak banget kalau kita bicara biaya pembangunan LRT, apakah dia di atas tanah, apakah dia elevated. Itu sendiri sudah menjadi satu pertanyaan," jelasnya.
Selain itu, kata dia juga harus dilihat perbandingan teknologi hingga fasilitas yang tersedia, misalnya jumlah stasiun, hingga sistem persinyalan kereta.
"Jumlah keretanya juga, berapa trainset, tadi bervariasi dia. Kalau mau dibandingkan yang benar benar apple to apple ya tadi, mungkin, misalnya struktur. Strukturnya sendiri sudah beda kan," terangnya.
Untuk LRT elevated dengan yang dibangun di atas tanah saja menurutnya biayanya jauh berbeda. Hanya saja dia belum bisa merinci berapa persen perbedaannya.
"Sekarang struktur elevated atau di atas tanah, itu jauh beda harganya. Makanya rate US$ 8 juta per km, nah ini memang kita lihat. Harus dilihat lagi detailnya, teknologinya apa," ujarnya.
Bahkan untuk sesama proyek LRT di Indonesia saja biayanya bisa berbeda.
"Kan dari teknologi saja berbeda. Terus keretanya juga. Yang di Jakpro (LRT Jakarta), dari Korea langsung, (LRT) Jabodebek sama Sumsel itu produksi INKA. Harusnya lebih murah dan kita bandingkan memang lebih murah," tambahnya.