Namun, di wilayah Kukusan atau ujung daripada Seksi II dan menghubungkan ke Seksi III mengarah ke Cinere ada lahan yang belum bebas. Warga yang masih bertahan pun memasang spanduk dengan tulisan 'Tanah/Bangunan Belum Dibayar'.
Syamsuddin, salah seorang warga Kukusan mengatakan, warga enggan pindah karena menduga ada kejanggalan dalam proses pembebasan lahan.
"Karena banyak prosedur yang jalan nggak sesuai, bagaimana dapat hasil yang baik kalau prosedur nggak bener," kata Syamsuddin kepada detikFinance di kediamannya Jalan Ahmad Dahlan IV, Kelurahan Kukusan, Kecamatan Beji, Depok, Jumat (26/10/2018).
Kejanggalan tersebut, kata Koordinator Kukusan Berjuang ini ialah terkait konsinyasi atau penitipan biaya ganti rugi pembebasan lahan melalui pengadilan.
"BPN gitu kan, dia kan akibat kebijakannya kita dikonsinyasi, kan ada koordinasi. Memang yang mengajukan konsinyasi PPK, tapi kalau nggak persetujuan atau sounding BPN selaku P2T nggak mungkin," ujarnya.
Dia menerangkan, proses konsinyasi janggal karena menggunakan penilaian atau appraisal pada November 2015. Padahal, appraisal sendiri memiliki masa kadaluarsa 6 hingga 12 bulan.
"Appraisal berlangsung November 2015, masa berlaku 2016. Mereka konsinyasi di tahun 2017 sudah lewat kan. Konsinyasi mencoba menutupi fakta appraisal 2015," ujarnya.
Terjadinya konsinyasi juga janggal. Dia menerangkan, April 2017 warga diajak musyawarah untuk ganti rugi lahan. Bukan musyawarah yang terjadi, warga langsung ditawarkan nilai ganti rugi. Alhasil, mayoritas warga menolak tanda tangan penawaran tersebut.
"Sebagian besar menolak, mungkin 1-2 orang kepepet mau. Tapi yang jelas saat itu menolak tidak tandatangan kesepakatan. Tidak mau, warga hanya daftar hadir saja," ujarnya.
"Salah satu syarat diterima konsinyasi ada berita kesepakatan. Makanya warga bingung kok bisa ada konsinyasi karena tidak ada berita acara kesepakatan. Yang warga tandatangani daftar hadir. Makanya bingung kok bisa diterima pengadilan," tutupnya.