Harya mengatakan, kondisi pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir memang menempatkan pemerintah dan konsorsium kereta cepat pada posisi yang sulit.
"Sebagus-bagusnya perencanaan, Covid-19 itu ada di luar rencana yang paling baik sekalipun. Pertanyannya sekarang, proyek ini mau dimangkrakan atau dilanjutkan," kata Harya.
Harya menegaskan situasi ini tidak hanya dialami Indonesia. Menurutnya, banyak pembangunan infrastruktur di negara lain yang juga terganggu karena pandemi Covid-19.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain juga mengalami dilema yang sama dan tidak ada satupun yang memilih untuk memangkrakan proyek. Kasus Covid sudah rendah, tapi jangan lupa ada dampaknya," katanya.
Akademisi dari Universitas Parahyangan Andreas Wibowo menjelaskan, proyek transportasi publik memang dibutuhkan untuk memperlancar arus pergerakan manusia atau barang.
"Untuk itu dibutuhkan perencanan yang matang karena transportasi publik dalam banyak kasus tidak lagi bersifat standalone dan terintegrasi dalam suatu jaringan transportasi," jelasnya.
Menurutnya, ketersediaan transportasi publik seperti kereta cepat akan membawa dampak eksternalitas, misalnya dari sisi pengembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi dan sosial.
"Dan sepanjang dampak positif lebih besar dari pada dampak negatifnya, kita bisa sebutkan proyek tersebut memang worth it untuk dilaksanakan," tegasnya,
Namun, Andreas memberikan sejumlah catatan yang perlu diantisipasi. Misalnya, risiko lebih rendahnya penumpang dari prediksi yang bisa mengakibatkan keberlanjutan proyek yang terganggu dari sisi finansial.
"Mudah-mudahan risiko shortfall demand pada proyek ini tidak terjadi," katanya.
(das/fdl)