Pembangunan Infrastruktur Bisa Tekan Emisi Karbon, Begini Caranya

Sylke Febrina Laucereno - detikFinance
Jumat, 07 Jul 2023 15:16 WIB
Ilustrasi Emisi Karbon - Foto: Dok. Unsplash.com
Jakarta -

Tahun 2017 Indonesia disebut masuk dalam daftar 10 besar Negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Nicodemus Daud menyebutkan Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2). Dari jumlah tersebut, penyumbang terbesarnya adalah industri yang di dalamnya termasuk pertanian, peternakan, dan konstruksi.

Dia mengungkapkan di Indonesia, tahun 2023 ini pemerintah telah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29% menjadi 31,8% untuk menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu, pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya-guna.

"Pemerintah tentunya sudah punya tahapan-tahapan rencana jangka panjang untuk mengatasi hal ini. Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. Targetnya salah satunya adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7 persen," kata Nicodemus dalam keterangannya, Jumat (7/7/2023).

Dalam seminar Sustainable Construction di Pameran IndoBuildTech 2023 dijelaskan ada 3 dampak perubahan iklim yang berkaitan dengan sektor perumahan dan permukiman. Yang pertama adanya peningkatan atau penurunan curah hujan. Kemudian peningkatan kejadian cuaca ekstrem.

Dan yang terakhir, peningkatan tinggi muka laut. Dampak ini yang kemudian menjadi tantangan Kementerian PUPR dalam melaksanakan pembangunan konstruksi di tanah air.

Dibutuhkan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. Upaya Kementerian PUPR ini tentunya disambut baik oleh Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi. Ia menyebut, masalah perubahan iklim dan pemanasan global bukan sekadar masalah pemerintah saja. Semua elemen masyarakat harus terlibat menjaga keberlangsungan lingkungan, demi generasi yang akan datang.

"Jadi ini bukan tanggungjawab pemerintah saja. Semuanya harus terlibat. Karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa ancaman pemanasan global dan perubahan iklim itu nyata dan sudah bisa dirasakan sekali belakangan ini. Untuk itu kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bergabung bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan kita," terang Stephanus.

Stephanus kembali menambahkan, hal lain yang penting dilakukan adalah berinovasi. Ia menyebut, dengan terus berinovasi, industri dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, efisiensi dan produktivitas, kualitas hidup, serta yang terpenting juga mendukung keberlanjutan lingkungan.

Industri baja, semen dan bahan kimia diketahui merupakan tiga industri penghasil emisi teratas dan termasuk yang paling sulit untuk didekarbonisasi. Karena itu penggunaan teknologi ramah lingkungan, hingga inovasi-inovasi perlu dilakukan agar bisa mengurangi penggunaan energi serta mengontrol emisi yang ditimbulkan.

"Sebagai contoh, untuk menekan penggunaan energi dan mengurangi emisi, kami PT Tata Metal Lestari berinovasi dengan memproduksi Baja Lapis Aluminium Seng (BLAS) yang kami beri nama Super Nexalum dan Super Nexium. Kedua produk ini memiliki ketahanan hingga 100 tahun. Dengan begitu, baja yang seharusnya dalam beberapa tahun sudah di daur ulang dengan memakan energi yang besar, bisa kami perpanjang usia pakainya sehingga lebih tahan lama," terang Stephanus.

Kemudian ada juga inovasi Domus Fastrack. Rumah berbasis baja ringan yang dibuat sesuai kebutuhan konsumen mulai dari gambar hingga terbentuk panel-panelnya yang sudah sesuai ukuran. Dengan teknologi terbaru ini, tidak ada limbah yang dihasilkan selayaknya proses pembangunan rumah pada umumnya. Di PT Tatalogam Lestari hal yang sama juga dilakukan. Sebagai produsen atap dan genteng metal terbesar di tanah Air, PT Tatalogam Lestari juga telah berinovasi dengan menghasilkan produk-produk akhir dari baja lapis yang lebih ramah lingkungan.

Stephanus menjelaskan, Urban Heat Island merupakan sebuah fenomena peningkatan suhu lingkungan suatu wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitarnya. Kondisi ini diakibatkan oleh banyaknya radiasi matahari yang dipantulkan dan terserap oleh lingkungan dari bidang-bidang infrastruktur sebuah wilayah, seperti permukaan jalan, permukaan dinding, dan permukaan atap sebuah bangunan.

Kepala Pusat Industri Hijau (PIH) menjelaskan saat ini regulasi pemberlakuan Sertifikasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk Baja Lapis Lembaran sedang dalam proses penetapan oleh Menteri Perindustrian. PT Tata Metal Lestari berperan aktif dalam perumusan SIH.

"Jadi ada 4 pilar yang kami fokuskan dalam menyusun rumusan SIH ini. Yang pertama mengenai pembatasan penggunaan energinya, lalu pelepasan karbon atau Gas Rumah Kaca (GRK), kemudian bagaimana manajemen limbahnya, dan yang terakhir dan paling penting adalah batasan OEE sebagai indikator peningkatan daya saing industri. Empat poin ini yang perlu diukur dan dimonitor secara berkelanjutan supaya kita bisa mengurangi efek dari perubahan iklim," kata dia.




(kil/rrd)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork