BPP Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI) menyatakan sektor jasa konstruksi sedang mengalami sejumlah tantangan. Salah satunya akibat penguatan dolar AS yang mempengaruhi biaya bahan baku impor dalam sektor konstruksi.
"Ketika nilai rupiah melemah, harga bahan baku impor seperti besi, baja, semen dan alat-alat berat yang diimpor akan meningkat," kata Ketua Umum BPP GAPENSI Andi Rukman Karumpa dalam keterangan tertulis, Rabu (19/6/2024).
Andi berharap dapat duduk bersama pemerintah untuk mencari solusi meningkatkan kontribusi sektor jasa konstruksi. Pihaknya berkomitmen dalam pembangunan nasional.
"Adanya dialog yang konstruktif antara pemerintah dan pelaku jasa konstruksi, solusi terbaik dapat ditemukan untuk mengatasi tantangan ini sehingga sektor jasa konstruksi tetap dapat berkontribusi maksimal terhadap pembangunan nasional," ujar Andi.
Andi menyebut penguatan dolar AS berdampak langsung pada peningkatan biaya produksi secara keseluruhan. Akibatnya, margin keuntungan disebut jadi lebih kecil dan harga proyek bisa melonjak jika tidak ada penyesuaian anggaran.
"Kami dari GAPENSI sangat mempertimbangkan untuk mengusulkan eskalasi nilai proyek kepada pemerintah," tutur Andi.
Menurutnya, surat Kementerian Keuangan Nomor S-940/MK/2022 tentang usulan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang penyesuaian harga (eskalasi) pada kontrak pekerjaan konstruksi tahun anggaran 2022 akibat kenaikan harga BBM dan aspal, pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) belum memberikan dampak positif kepada pelaku jasa konstruksi.
Kenaikan biaya bahan baku yang tidak terduga ini dinilai perlu diakomodasi agar proyek-proyek dapat berjalan sesuai dengan rencana tanpa menurunkan kualitas.
"Kami berharap pemerintah bisa memahami situasi ini dan memberikan dukungan melalui penyesuaian anggaran atau kebijakan yang meringankan beban kontraktor," lanjut Andi.
Selain kenaikan biaya bahan baku, kata Andi, pelemahan nilai tukar rupiah juga disebut membawa beberapa dampak lain yang dirasakan oleh pengusaha jasa konstruksi mulai dari keterbatasan likuiditas, penundaan proyek, risiko kredit dan inflasi.
"Kenaikan biaya impor bisa mempengaruhi aliran kas perusahaan, terutama bagi kontraktor yang bergantung pada bahan baku impor dalam jumlah besar. Proyek yang sudah berjalan bisa mengalami penundaan karena perlu dilakukan renegosiasi anggaran atau mencari sumber dana tambahan," tuturnya.
Menurutnya, pemerintah harus menyiapkan skema untuk meredam pelemahan rupiah terhadap sektor konstruksi, salah satunya adalah peningkatan nilai kontrak sebuah proyek yang selanjutnya diajukan kepada Kementrian Keuangan untuk menutup pembengkakan biaya konstruksi akibat adanya pelemahan rupiah terhadap dolar AS.
"Melemahnya rupiah bisa berdampak pada peningkatan biaya konstruksi yang saat ini tengah berlangsung, hal ini pernah kita temui pada 2022 dan kami sudah mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan," pungkas Andi.
(aid/ara)