Tingkat kepatuhan kewajiban peringkat utang saat ini masih sebesar 27% dari total korporasi yang melakukan utang dalam bentuk valas.
"Implementasi credit rating masih ada room yang perlu diperkuat lagi dari sisi pelaporannya. Ada swasta yang pinjam ULN belum comply untuk meminta credit rating kepada lembaga pemerintah. Rata-rata tingkat kepatuhannya baru 27%. Jadi sekitar 73% masih belum lakukan credit rating, padahal ini mandatori peraturannya yang tujuannya agar tidak overleverage," kata Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Dody Budi Waluyo dalam jumpa pers di Bank Indonesia, Jakarta, Selasa (7/3/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau syarat minimumnya BB- harusnya enggak terlalu tinggi, lalu akhirnya bisa menggagalkan debitur untuk dapat utang. Jadi ini konteks moderat supaya mereka bisa dapat pinjaman. Kalau ratingnya dibawah BB- maka risikonya tinggi, pengalaman krisis juga begitu," Riza Tyas, Deputi Direktur Kebijakan Ekonomi Moneter yang hadir dalam kesempatan yang sama.
Riza menambahkan, pihaknya memang belum terlalu banyak mensosialisasikan hal ini kepada korporasi.
"Jadi sosialisasinya memang belum optimal. Tahun ini kami akan optimalkan. Ini baru pembukaan awal untuk sosialisasikan kewajiban rating. Dalam praktik internasional, itu bukan hal asing bagi debitur. Untuk sekuritas atau menerbitkan surat utang pasti ada syarat rating, nah ini kami perluas, jadi bukan hanya soal penerbitan surat utang tapi juga jenis utang lain di luar surat utang seperti loan," tambahnya.
Untuk itu, para korporasi yang belum melakukan pemeringkatan utang diharapkan dapat segera melakukannya. Pasalnya, BI akan memberikan surat rekomendasi kepada otoritas terkait agar melakukan teguran kepada perusahaan yang belum melakukan pemeringkatan utang tersebut.
"Saya yakin ini akan naik (credit rating). Karena kalau tidak dilakukan, akan dapat teguran yang kami alamatkan kepada pihak yang terkait dengan debitur. Atau kami mintakan ke otoritas terkait, seperti OJK, Kementerian BUMN, kalau itu menyangkut debitur BUMN. Itu suatu catatan yang kurang baik bagi perusahaannya," pungkasnya. (mkj/mkj)