Ibarat Kekurangan Air, Begini Kondisi Rupiah Terkini

Ibarat Kekurangan Air, Begini Kondisi Rupiah Terkini

Achmad Dwi Afriyadi - detikFinance
Rabu, 19 Sep 2018 12:46 WIB
Foto: Achmad Dwi Afriyadi/detikFinance
Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah. Belakangan, dolar berada pada klevel Rp 14.000-an bahkan sempat hampir menembus level Rp 15.000. Apa yang terjadi pada rupiah saat ini?

Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia (BI) Doddy Zulverdi mengibaratkan, rupiah saat ini tergantung dari 'sawah' dan 'irigasi atau air' nya. Sawah merujuk pada ekonomi Indonesia, sementara air merujuk ke dolar AS.


Doddy mengatakan, ekonomi Indonesia masih memerlukan dolar AS, sebab dibutuhkan untuk mengimpor berbagai kebutuhan seperti bahan baku.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Air ini adalah dolar AS, sawah ekonomi kita masih butuh impor, ekonomi yang tingkat pembangunannya masih banyak butuh barang-barang yang tidak dihasilkan sendiri," kata Doddy dalam Seminar Kemana Arah Rupiah? di DPR Jakarta, Rabu (19/9/2018).


Sementara air atau dolar AS pasokannya terus berkurang dan membuat nilainya terus menguat terhadap rupiah. Berkurangnya dolar ini ada beberapa sebab.

Pertama, adanya normalisasi neraca Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed). Normalisasi ini berimbas pada penarikan dolar yang tersebar di seluruh dunia.


Kedua, pada saat yang sama The Fed menaikkan suku bunga acuan yang membuat dolar AS balik kampung.

"Saat yang sama suku bunga, harga air dijual ke pembeli dinaikkan, jadi dolar dikurangi, harga naik, negara-negara pembeli dolar yang butuh dolar seperti Indonesia menerima sedikit air," jelasnya.

Tak berhenti di situ, kebijakan pemangkasan pajak alias reformasi pajak (tax reform) yang dilakukan pemerintah AS juga turut serta pada pengurangan pasokan dolar. Sebab, adanya tax reform ini membuat defisit anggaran pemerintah membengkak dan keperluan untuk menambal defisit ini semakin besar.


"Tambahan defisit 5 tahun ke depan sebesar US$ 1,2 triliun kalau Rp 18 ribu triliun, tambahan defisit fiskal AS. Artinya AS akan terus menambah utang di luar baseline," ujarnya.

"Kalau menerbitkan surat utang segitu artinya dana yang berputar di dunia akan disedot untuk mengurangi defisit," tambahnya.

Hal itu ditambah juga dengan perang dagang antara AS dan China. Kondisi ini membuat investor mencari instrumen investasi yang aman.

"Aliran air belakangan, salah satunya trade war aliran terganggu, ada ketidakpastian membuat aliran air bolong, bocor, mengalir kemana-mana," tutupnya.



Saksikan juga video 'BI: Rupiah Masih Lebih Baik dari Mata Uang Negara Lain':

[Gambas:Video 20detik]

(hns/hns)

Hide Ads