Mengikuti perkembangan teknologi, bank memilih untuk membuat aplikasi mobile yang dapat membantu calon nasabah untuk membuka akun rekening bank.
Bagaimana cara kerja pembuatan rekening melalui handphone itu? Apakah aman? Bagaimana cara setorannya? Bagaimana cara dapat buku dan kartunya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pembukaan rekening melalui aplikasi mobile banking atau cara lain tanpa ke kantor cabang adalah untuk mempersingkat waktu, untuk mempermudah dan tak terikat waktu jam kerja bank," kata Jahja saat berbincang dengan detikFinance awal pekan lalu.
Menurut Jahja, kini generasi milenial sangat suka dengan hal yang praktis dalam hal perbankan. Karena itu bank juga harus mengakomodir kebutuhan dan mengikuti perkembangan, supaya tak ketinggalan zaman.
"Dengan layanan digital yang ada saat ini, nasabah tak perlu lagi punya kartu fisik untuk transaksi. Semuanya bisa dilakukan lewat Handphone," jelas dia. Kini BCA sudah memiliki fasilitas pembukaan rekening di BCA Mobile yang diluncurkan pada 11 April 2019 lalu.
Bank milik negara, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) kini juga memiliki layanan pembukaan rekening melalui aplikasi yang diluncurkan pada 27 Februari 2019 lalu. Layanan tersebut diluncurkan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat di era serba digital ini, namanya aplikasi BRImo singkatan dari BRI Mobile.
Kemudian Bank DBS juga memiliki layanan bank berbasis mobile yang menggunakan teknologi inovatif mulai dari biometrik hingga kecerdasan buatan yang diluncurkan pada 29 Agustus 2019. Mengutip laman resmi dbs.com, Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna menjelaskan saat ini pengguna internet dan smartphone tumbuh sangat pesat di Indonesia.
Dia menjelaskan perbankan saat ini sudah mengamati perubahan perilaku nasabah yang menginginkan cara sederhana dan praktis untuk transaksi perbankan. "Kami memiliki digibank agar nasabah dapat melakukan kegiatan perbankan di mana saja dan kapan saja," jelas dia.
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) sudah lebih dulu meluncurkan aplikasi keuangan digital bernama Jenius yakni 11 Agustus 2016. Dari keterangan perseroan aplikasi ini dirancang dan dikembangkan untuk membantu masyarakat dalam mengatur life finance secara lebih mudah, cerdas dan aman melalui smartphone berbasis android maupun iOS.
Dengan lahirnya aplikasi-aplikasi mobile banking 'tingkat tinggi' ini rasanya bisa menjadi angin segar untuk perkembangan teknologi di dunia khususnya di Indonesia. Layanan digital menjadi keharusan untuk bank demi menggaet nasabah yang kini makin jarang menjejakkan kaki ke kantor cabang.
Memang, regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung inovasi perbankan digital. Sesuai dengan Peraturan OJK nomor 12 Tahun 2018. Beleid tersebut mengatur sejumlah layanan digital banking seperti video banking hingga layanan pengajuan kredit rumah oleh nasabah kepada perbankan.
Dalam aturan juga disebutkan, jika bank boleh membuka layanan rekening secara cepat melalui mesin ATM atau aplikasi smartphone. Bank juga bisa menambahkan fitur biometrik pemindian sidik jadi, kartu identitas hingga layanan video banking.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan saat ini perbankan menyadari jika masyarakat menilai waktu menjadi semakin berharga. Layanan perbankan digital dikeluarkan oleh bank agar nasabah bisa lebih produktif dan efisien.
"Pembukaan rekening melalui aplikasi mobile banking atau cara lain tanpa ke kantor cabang adalah untuk mempersingkat waktu, untuk mempermudah dan tak terikat waktu jam kerja bank," kata Jahja saat berbincang dengan detikFinance awal pekan lalu.
Menurut Jahja, kini generasi milenial sangat suka dengan hal yang praktis dalam hal perbankan. Karena itu bank juga harus mengakomodir kebutuhan dan mengikuti perkembangan, supaya tak ketinggalan zaman.
"Dengan layanan digital yang ada saat ini, nasabah tak perlu lagi punya kartu fisik untuk transaksi. Semuanya bisa dilakukan lewat Handphone," jelas dia. Kini BCA sudah memiliki fasilitas pembukaan rekening di BCA Mobile yang diluncurkan pada 11 April 2019 lalu.
Bank milik negara, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) kini juga memiliki layanan pembukaan rekening melalui aplikasi yang diluncurkan pada 27 Februari 2019 lalu. Layanan tersebut diluncurkan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat di era serba digital ini, namanya aplikasi BRImo singkatan dari BRI Mobile.
Kemudian Bank DBS juga memiliki layanan bank berbasis mobile yang menggunakan teknologi inovatif mulai dari biometrik hingga kecerdasan buatan yang diluncurkan pada 29 Agustus 2019. Mengutip laman resmi dbs.com, Presiden Direktur Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna menjelaskan saat ini pengguna internet dan smartphone tumbuh sangat pesat di Indonesia.
Dia menjelaskan perbankan saat ini sudah mengamati perubahan perilaku nasabah yang menginginkan cara sederhana dan praktis untuk transaksi perbankan. "Kami memiliki digibank agar nasabah dapat melakukan kegiatan perbankan di mana saja dan kapan saja," jelas dia.
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) sudah lebih dulu meluncurkan aplikasi keuangan digital bernama Jenius yakni 11 Agustus 2016. Dari keterangan perseroan aplikasi ini dirancang dan dikembangkan untuk membantu masyarakat dalam mengatur life finance secara lebih mudah, cerdas dan aman melalui smartphone berbasis android maupun iOS.
Dengan lahirnya aplikasi-aplikasi mobile banking 'tingkat tinggi' ini rasanya bisa menjadi angin segar untuk perkembangan teknologi di dunia khususnya di Indonesia. Layanan digital menjadi keharusan untuk bank demi menggaet nasabah yang kini makin jarang menjejakkan kaki ke kantor cabang.
Memang, regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung inovasi perbankan digital. Sesuai dengan Peraturan OJK nomor 12 Tahun 2018. Beleid tersebut mengatur sejumlah layanan digital banking seperti video banking hingga layanan pengajuan kredit rumah oleh nasabah kepada perbankan.
Dalam aturan juga disebutkan, jika bank boleh membuka layanan rekening secara cepat melalui mesin ATM atau aplikasi smartphone. Bank juga bisa menambahkan fitur biometrik pemindian sidik jadi, kartu identitas hingga layanan video banking.
Analyst Digital Forensic Ruby Alamsyah menjelaskan saat ini digital banking atau digital branch sudah mulai digunakan oleh perbankan di Indonesia. Hal ini juga sudah sesuai aturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Ruby, bank dalam pengembangan aplikasi mobile tersebut memiliki sejumlah tahapan keamanan yakni bisa berupa data biometrik, sidik jari, retina, iris, suara dan wajah. Kemudian layanan juga dilengkapi dengan PIN, kata sandi hingga one time password (OTP) untuk bertransaksi. Selain itu juga ada token atau soft token yang akan digunakan.
"Bank juga punya analisis somewhere you are yakni dia menggunakan IP address, itu digunakan dengan menganalisa geo location. Kemudian juga ada something you do, yaitu password berupa foto atau gambar tertentu. Jadi dengan otentifikasi multi faktor tersebut, bank dapat tetap menjaga keamanan data dan nasabah dapat bertransaksi di digital banking dengan nyaman dan aman," ujar Ruby saat berbincang dengan detikFinance.
Dia menjelaskan, sesuai aturan OJK layanan digital banking diwajibkan untuk menerapkan prinsip two factor authentication pada saat pendaftaran nasabah baru. Ruby menyebut sebagai basis data awal pendaftaran bank biasanya menggunakan data e-KTP.
Data ini nantinya akan disimpan oleh bank sebagai bahan untuk verifikasi dengan data yang diperoleh dari dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil). Nah untuk tambahan verifikasi bank juga menambah biometrik nasabah dengan teknologi pendukung, agar bank dan nasabah mempunyai keamanan yang lebih.
"Saat operasional, bank kan juga melakukan verifikasi nasabah dengan memastikan keabsahan nomor telepon seluler dan mengirimkan OTP, verifikasi biometric, penggunaan token hingga video banking," jelas dia.
Menurut dia, dengan teknik pengamanan tersebut, seharusnya keamanan digital banking sudah cukup mumpuni, minimal langkah tersebut sama amannya dengan layanan bank konvensional.
"Soal antisipasi kebocoran data nasabah, bank memang berkewajiban untuk menjaganya baik bank layanan digital maupun konvensional. Untuk keamanan data kan bank pastinya sudah menggunakan standar baku baik lokal maupun internasional terkait pengamanan data nasabah," jelas dia.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara justru menjelaskan dengan layanan digital banking ini, privasi nasabah bisa terganggu. "Bisa ada risiko privasi keamanan data yang bisa disalahgunakan dan diperjualbelikan," ujar dia.
Namun layanan ini disebut dapat mendorong inklusi keuangan di Indonesia dan menurunkan biaya operasional bank dan nasabah.
Mengutip Peraturan OJK nomor 12 Tahun 2018 BAB II pasal 6 disebutkan bank wajib menerapkan prinsip pengendalian pengamanan data dan transaksi nasabah dari layanan perbankan elektronik pada setiap sistem elektronik yang digunakan oleh bank.
Kemudian BAB V pasal 21 menyebutkan bank penyelenggara layanan perbankan elektronik atau layanan perbankan digital wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
"Bank penyelenggara layanan perbankan digital wajib memiliki fungsi dan mekanisme penanganan setiap pertanyaan atau pengaduan dari nasabah yang beroperasi selama 24 jam dalam sehari," tulis aturan tersebut.
Analyst Digital Forensic Ruby Alamsyah menjelaskan saat ini digital banking atau digital branch sudah mulai digunakan oleh perbankan di Indonesia. Hal ini juga sudah sesuai aturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Ruby, bank dalam pengembangan aplikasi mobile tersebut memiliki sejumlah tahapan keamanan yakni bisa berupa data biometrik, sidik jari, retina, iris, suara dan wajah. Kemudian layanan juga dilengkapi dengan PIN, kata sandi hingga one time password (OTP) untuk bertransaksi. Selain itu juga ada token atau soft token yang akan digunakan.
"Bank juga punya analisis somewhere you are yakni dia menggunakan IP address, itu digunakan dengan menganalisa geo location. Kemudian juga ada something you do, yaitu password berupa foto atau gambar tertentu. Jadi dengan otentifikasi multi faktor tersebut, bank dapat tetap menjaga keamanan data dan nasabah dapat bertransaksi di digital banking dengan nyaman dan aman," ujar Ruby saat berbincang dengan detikFinance.
Dia menjelaskan, sesuai aturan OJK layanan digital banking diwajibkan untuk menerapkan prinsip two factor authentication pada saat pendaftaran nasabah baru. Ruby menyebut sebagai basis data awal pendaftaran bank biasanya menggunakan data e-KTP.
Data ini nantinya akan disimpan oleh bank sebagai bahan untuk verifikasi dengan data yang diperoleh dari dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil). Nah untuk tambahan verifikasi bank juga menambah biometrik nasabah dengan teknologi pendukung, agar bank dan nasabah mempunyai keamanan yang lebih.
"Saat operasional, bank kan juga melakukan verifikasi nasabah dengan memastikan keabsahan nomor telepon seluler dan mengirimkan OTP, verifikasi biometric, penggunaan token hingga video banking," jelas dia.
Menurut dia, dengan teknik pengamanan tersebut, seharusnya keamanan digital banking sudah cukup mumpuni, minimal langkah tersebut sama amannya dengan layanan bank konvensional.
"Soal antisipasi kebocoran data nasabah, bank memang berkewajiban untuk menjaganya baik bank layanan digital maupun konvensional. Untuk keamanan data kan bank pastinya sudah menggunakan standar baku baik lokal maupun internasional terkait pengamanan data nasabah," jelas dia.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara justru menjelaskan dengan layanan digital banking ini, privasi nasabah bisa terganggu. "Bisa ada risiko privasi keamanan data yang bisa disalahgunakan dan diperjualbelikan," ujar dia.
Namun layanan ini disebut dapat mendorong inklusi keuangan di Indonesia dan menurunkan biaya operasional bank dan nasabah.
Mengutip Peraturan OJK nomor 12 Tahun 2018 BAB II pasal 6 disebutkan bank wajib menerapkan prinsip pengendalian pengamanan data dan transaksi nasabah dari layanan perbankan elektronik pada setiap sistem elektronik yang digunakan oleh bank.
Kemudian BAB V pasal 21 menyebutkan bank penyelenggara layanan perbankan elektronik atau layanan perbankan digital wajib menerapkan prinsip perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan.
"Bank penyelenggara layanan perbankan digital wajib memiliki fungsi dan mekanisme penanganan setiap pertanyaan atau pengaduan dari nasabah yang beroperasi selama 24 jam dalam sehari," tulis aturan tersebut.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan dengan gencarnya digitalisasi perbankan ini maka akan memberikan ancaman untuk para pekerja di bagian front office. "Ini bisa menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bagian front office seperti teller dan customer service, karena pekerjaan lebih efisien dengan teknologi," ujar Bhima saat berbincang dengan detikFinance.
Dia mengungkapkan, arus digitalisasi memang tidak bisa dihambat oleh manusia, tetapi harus diikuti agar tetap stabil dan tak oleng oleh derasnya arus tersebut. "Yang terbaik adalah kolaborasi dan lakukan perubahan secara internal kalau mau tetap survive," jelas dia.
Menurut Bhima, dengan ancaman yang mendekati petugas bank, maka harus diantisipasi dengan menciptakan dan meningkatkan skill baru untuk perkembangan ke depannya. Hal ini bisa disiasati dengan belajar hal baru di luar bidang keahlian.
Bhima mengatakan, pegawai yang bertahan adalah pegawai yang bisa memberi nilai plus ke bank. "Kalau dia relationship manager tetapi juga punya skill digital, pastinya akan jadi lead customer experience, makin dibutuhkan oleh bank," imbuh dia. Namun bank masih membutuhkan pegawai untuk pos strategic management, IT Developer, dan fraud detector.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menyampaikan saat ini industri perbankan memang sudah terkena disrupsi teknologi sehingga beberapa posisi bisa kelak tergusur kecanggihan IT. Karena itu langkah bank untuk menggali aneka produk dan jasa dengan platform teknologi bisa membuat bank tetap eksis.
"Pegawai bank suka tak suka harus meningkatkan kompetensi mereka supaya mampu menghadapi tantangan yang lebih berat ke depannya. Ini juga supaya mereka tidak gagap teknologi," jelas dia.
Pengamat ekonomi, Aviliani mengatakan para pekerja juga harus mempersiapkan di era digital ini. Pasalnya, memang akan terjadi perubahan yang signifikan oleh teknologi.
"Pekerjanya juga harus mempersiapkan diri, ke depan akan ada shifting besar-besaran dari konvensional ke digital yang memerlukan sedikit tenaga manusia. Harus punya skill lain agar bisa bertahan," jelas dia.
Selain itu era persaingan bebas pada 2020 di masyarakat ekonomi Asean (MEA) sektor keuangan, pasti bank sudah memilah bagian mana yang akan dipangkas untuk bisa bersaing dengan negara asing.
Dia menjelaskan, saat ini masyarakat juga semakin melek dengan teknologi. Bank harus mengikuti perkembangan zaman. Dia mencontohkan, dulu semua orang jika ingin bertransaksi harus ke kantor cabang atau ke mesin ATM.
"Tapi sekarang shifting-nya ke mobile dan internet banking. Jadi tidak perlu ketemu orang kan dalam hal ini front office atau customer service bank? Bisa dilakukan sendiri. Memang akan ada shifting juga melalui teknologi," jelas dia.
Berdasarkan data statistik perbankan Indonesia (SPI) edisi Maret 2019 jumlah kantor bank umum tercatat 31.656 unit, jumlah ini terus menurun jika dibandingkan dengan periode 2015 yang mencapai 32.949, kemudian tahun 2016 sebanyak 32.730 kemudian memasuki 2017 32.285 lalu pada 2018 31.616.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan dengan gencarnya digitalisasi perbankan ini maka akan memberikan ancaman untuk para pekerja di bagian front office. "Ini bisa menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bagian front office seperti teller dan customer service, karena pekerjaan lebih efisien dengan teknologi," ujar Bhima saat berbincang dengan detikFinance.
Dia mengungkapkan, arus digitalisasi memang tidak bisa dihambat oleh manusia, tetapi harus diikuti agar tetap stabil dan tak oleng oleh derasnya arus tersebut. "Yang terbaik adalah kolaborasi dan lakukan perubahan secara internal kalau mau tetap survive," jelas dia.
Menurut Bhima, dengan ancaman yang mendekati petugas bank, maka harus diantisipasi dengan menciptakan dan meningkatkan skill baru untuk perkembangan ke depannya. Hal ini bisa disiasati dengan belajar hal baru di luar bidang keahlian.
Bhima mengatakan, pegawai yang bertahan adalah pegawai yang bisa memberi nilai plus ke bank. "Kalau dia relationship manager tetapi juga punya skill digital, pastinya akan jadi lead customer experience, makin dibutuhkan oleh bank," imbuh dia. Namun bank masih membutuhkan pegawai untuk pos strategic management, IT Developer, dan fraud detector.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono menyampaikan saat ini industri perbankan memang sudah terkena disrupsi teknologi sehingga beberapa posisi bisa kelak tergusur kecanggihan IT. Karena itu langkah bank untuk menggali aneka produk dan jasa dengan platform teknologi bisa membuat bank tetap eksis.
"Pegawai bank suka tak suka harus meningkatkan kompetensi mereka supaya mampu menghadapi tantangan yang lebih berat ke depannya. Ini juga supaya mereka tidak gagap teknologi," jelas dia.
Pengamat ekonomi, Aviliani mengatakan para pekerja juga harus mempersiapkan di era digital ini. Pasalnya, memang akan terjadi perubahan yang signifikan oleh teknologi.
"Pekerjanya juga harus mempersiapkan diri, ke depan akan ada shifting besar-besaran dari konvensional ke digital yang memerlukan sedikit tenaga manusia. Harus punya skill lain agar bisa bertahan," jelas dia.
Selain itu era persaingan bebas pada 2020 di masyarakat ekonomi Asean (MEA) sektor keuangan, pasti bank sudah memilah bagian mana yang akan dipangkas untuk bisa bersaing dengan negara asing.
Dia menjelaskan, saat ini masyarakat juga semakin melek dengan teknologi. Bank harus mengikuti perkembangan zaman. Dia mencontohkan, dulu semua orang jika ingin bertransaksi harus ke kantor cabang atau ke mesin ATM.
"Tapi sekarang shifting-nya ke mobile dan internet banking. Jadi tidak perlu ketemu orang kan dalam hal ini front office atau customer service bank? Bisa dilakukan sendiri. Memang akan ada shifting juga melalui teknologi," jelas dia.
Berdasarkan data statistik perbankan Indonesia (SPI) edisi Maret 2019 jumlah kantor bank umum tercatat 31.656 unit, jumlah ini terus menurun jika dibandingkan dengan periode 2015 yang mencapai 32.949, kemudian tahun 2016 sebanyak 32.730 kemudian memasuki 2017 32.285 lalu pada 2018 31.616.