-
Sekitar 20 tahun yang lalu merupakan masa kelam bagi dunia perbankan. Banyak muncul kasus-kasus besar yang menimpa banyak perbankan, termasuk Bank Bali.
Rudy Ramli yang merupakan Dirut Bank Bali kala itu kembali muncul ke publik. Dia saat ini dalam misi mencari keadilan.
Rudy telah menyambangi KPK dan BPK untuk menginformasikan dugaan kerugian negara. Dia juga telah berkirim surat kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pria yang pernah merasakan tidur di penjara itu pun kembali mengungkap kisah-kisah di balik skandal cessie yang menimpa Bank Bali. Berikut berita selengkapnya:
Saat bertemu dengan awak media, Rudy sedikit bercerita terkait kasus skandal hak tagih piutang (cessie) yang membuat dirinya sempat mencicipi tidur di penjara.
Dulu, saat dunia perbankan di Indonesia sedang goyang, Bank Indonesia (BI) sempat mengeluarkan jaminan untuk pembayaran bank umum yang mau membantu bank-bank yang kesulitan likuiditas. Saat itu Bank Bali sempat diminta pejabat BI untuk menjadi bank rekap untuk membantu bank-bank yang kesulitan likuiditas.
"Karena dorongan pejabat BI saat itu, akhirnya Bank Bali mengucurkan pinjaman dana antar bank ke Bank Umum Nasional, Bank Tiara, BDNI dan bank lainnya yang jumlahnya sekitar Rp 1,3 triliun," terangnya di Penang Bistro, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Pada 1997 beberapa piutang itu sudah jatuh tempo. Namun Bank Bali saat itu kesulitan untuk menagih piutangnya. Sebab bank-bank yang memiliki utang ke Bank Bali dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Lalu, dari jumlah piutang tersebut, sebanyak Rp 946 miliar tidak bisa ditagih. Saat itu Rudy merasa dijerumuskan oleh oknum BI.
Bank Bali juga sempat bekerjasama dengan PT Era Giat Prima (EGP). Perusahaan yang saat itu dipimpin oleh Setya Novanto dan Djoko Tjandra itu diminta untuk membantu menagih yang ganjarannya mendapatkan sebagian dari piutang tersebut.
Nah, singkat cerita, proses penagihan itu berbelit hingga akhirnya muncul skandal cessie. Banyak dari pejabat-pejabat dan bos besar menjadi tersangka, termasuk Rudy.
Akibat tidak dibayarnya pinjaman antar bank itu, terjadi rentetan peristiwa yang mengakibatkan Bank Bali akhirnya harus ikut direkap senilai Rp 1,4 triliun. Selama dalam program rekap, Bank Bali di bawah penanganan BPPN.
Setelah itu, BPPN menunjuk Standard Chartered Bank (SCB) untuk menangani dan menyehatkan Bank Bali. SCB, kata Rudy, malah meminta BPPN untuk menjadikan Bank Bali sebagai kategori BTO (bank take over).
Hingga akhirnya dimerger dengan 4 bank lainnya menjadi Bank Permata. Kemudian Bank Permata dibeli oleh SCB.
Masih ingat Bank Bali yang tersandung skandal cessie yang terjadi sekitar 20 tahun yang lalu? Kini mantan Bos Bank Bali, Rudy Ramli, kembali muncul dan mencari keadilan.
Rudy mengaku sudah mendatangi KPK dan BPK. Dia mengadukan terkait potensi kerugian negara terkait proses merger Bank Bali dengan 4 bank lainnya yang menjadi Bank Permata yang kemudian dibeli oleh Standard Chartered Bank (SCB).
"Tujuan saya untuk mencari keadilan, agar bisa diinvestigasikan kembali," ujarnya di Penang Bistro, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Kepada BPK Rudy kali ini tidak mempersoalkan terkait bank miliknya yang tersandung skandal hak tagih piutang (cessie) atas 3 bank yang tengah kesulitan likuiditas. Saat itu Rudy bahkan sempat merasakan tidur di penjara.
Dia kini mempersoalkan terkait adanya kerugian negara pada penjualan Bank Permata kepada SCB. Menurutnya saat merekap Bank Bali dan empat bank lainnya menjadi PT Bank Permata Tbk nilainya mencapai Rp 11,9 triliun.
Tidak lama setelah direkap, Bank Permata dijual oleh BPPN ke SCB, hanya senilai Rp 2,7 Triliun. Sehingga dia menilai ada indikasi kerugian negara di dalam proses rekapitalisasi, merger dan pelepasan saham PT Bank Permata Tbk.
"Inilah yang saya maksud terjadi kerugian negara yang disebabkan konspirasi pejabat-pejabat BPPN dan SCB. Dan BPK bisa melakukan proses audit ini," ucapnya.
Upaya Rudy mendatangi BPK merupakan kelanjutan dalam mencari keadilan. Sebelumnya Rudy sudah mendatangi KPK, meminta agar melakukan investigasi khusus atas adanya indikasi proses transaksi pengambil alihan saham Bank Permata oleh SCB, yang diduga cacat hukum pada tahun 2004.
Rudy mengaku juga sudah berkirim surat kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun suratnya belum dibalas. Dia curiga SCB berniat cari aman dengan berencana menjual sahamnya di Bank Permata.
Rudy menduga SCB membeli Bank Permata tanpa modal sendiri, tetapi menggunakan modal pihak lain.
"Di sinilah SCB wajib menjelaskan dengan menyertakan dokumen pendukung, apa maksud dari kalimat No Capital Commitment yang tertuang pada annual report-nya" tutupnya.