Jakarta -
Suku bunga kredit di perbankan nasional disebut masih tinggi karena masih berada di kisaran double digit. Hal ini dinilai tak bisa membantu penyaluran kredit dan mendorong perekonomian nasional.
Presiden Joko Widodo bahkan sampai kesal bunga kredit tak kunjung turun dan lebih rendah. Kemudian anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) RI juga mengeluhkan hal yang sama.
Kira-kira apa ya penyebabnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengungkapkan secara historis, perilaku suku bunga perbankan nasional memang asimetris. Menurut dia suku bunga deposito umumnya lebih responsif terhadap perubahan suku bunga acuan.
"Ketika suku bunga acuan turun suku bunga deposito dengan cepat turun. Demikian juga ketika suku bunga acuan naik, suku bunga deposito akan cepat naik," kata Piter saat dihubungi detikcom, Senin (11/11/2019).
Dia mengungkapkan, hal tersebut tidak terjadi dengan suku bunga kredit. Ada yang berbeda, yakni saat bunga acuan naik maka bunga kredit dengan cepat mengikuti.
"Tapi ketika suku bunga acuan turun dan suku bunga deposito sudah ikut turun, suku bunga kredit lambat mengikuti. Net interest margin (NIM) cenderung melebar," ujarnya.
Menurut Piter, kondisi ini terlihat jelas pada tahun 2016 hingga 2017 ketika suku bunga acuan BI turun sangat drastis dari kisaran 7% di awal 2016 menjadi 4,25% di akhir tahun 2017.
Suku bunga deposito cepat bergerak turun, tapi suku bunga kredit bergerak lambat sekali.
Dia menjelaskan pada tahun 2016 Presiden Jokowi mencanangkan awal 2017 suku bunga kredit harus sudah single digit, pemerintah sudah meminta OJK untuk memaksa bank-bank khususnya bank pemerintah untuk menurunkan suku bunga.
"Tapi sampai akhir 2017 suku bunga kredit tidak pernah bisa menembus single digit," ujarnya.
Berdasarkan data uang beredar yang diterbitkan BI, bunga kredit pada Juli 2019 turun 1 bps yakni 10,72% dibandingkan periode bulan sebelumnya 10,73%.
Sementara itu untuk suku bunga simpanan berjangka atau deposito tenor 1 bulan 6,68% turun dibandingkan periode bulan sebelumnya 6,76%.
Untuk tenor 3 bulan 6,78% turun dibandingkan periode Juni 2019 6,79%. Sementara untuk tenor 6 bulan bunga deposito tercatat 7,24% dibandingkan periode bulan sebelumnya 7,34% dan jangka waktu 24 bulan atau 2 tahun tercatat 7,02% dibandingkan periode bulan sebelumnya 7,34%.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>
Anggota komisi XI DPR Ramson Siagian memberikan pertanyaan kepada BI yakni terkait dengan suku bunga kredit yang sulit turun.
"Kami melihat BI sudah menurunkan bunga acuan sejak Juli, tapi bunga di lapangan bagaimana tidak turun-turun. Kalau bunga tinggi bagaimana orang berani mengajukan kredit," ujar Ramson di komisi XI, Jakarta, Senin (11/11/2019).
Dia menjelaskan bunga yang terlalu tinggi juga menyebabkan nasabah menjadi sangat berat. Ini bisa menyebabkan perekonomian bergerak lebih lambat.
"Bagaimana strategi BI untuk mendorong perluasan pertumbuhan ekonomi dan mendorong lapangan kerja," imbuhnya.
Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto. Dia menjelaskan sepanjang tahun ini BI sudah menurunkan suku bunga acuan hingga 4 kali.
"Ini salah satu tujuan utamanya agar pertumbuhan ekonomi tidak semakin turun. Selain itu kebijakan makroprudensial juga dilakukan agar pertumbuhan kredit bisa lebih tinggi," ujarnya.
Lanjut ke halaman berikutnya >>>
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan lambatnya penurunan suku bunga kredit terjadi karena adanya transmisi yang lambat. "Penurunan bunga acuan Bank Indonesia (BI) tidak cepat direspon karena kondisi likuiditas bank mengetat, maka transmisinya sangat lambat," ujar Bhima saat dihubungi detikcom, Senin (11/11/2019).
Dia mengungkapkan, saat ini masalah loan to deposit ratio (LDR) perbankan secara rata-rata masih mencapai 94,6%. Ini artinya bank harus mati matian berebut dana murah dari masyarakat. Karena, jika bank terlalu cepat mengikuti penurunan bunga BI, maka ada kekhawatiran akan pindah ke bank yang mempertahankan bunga tinggi.
Selain itu, kondisi ini juga ditambah dengan struktur perbankan yang tidak sehat. Persaingan antar 115 bank dinilai membuat bank bank kecil paling menderita di tengah perang likuiditas. Merger dan akuisisi berjalan sangat lambat.
"Idealnya OJK juga harus mendorong konsolidasi perbankan agar transmisi penurunan bunga acuan lebih cepat," jelas dia.
Menurut dia, masalah yang harus dipecahkan adalah pelonggaran likuiditas. BI bisa turunkan lagi GWM nya atau lakukan operasi moneter lain. Sedangkan untuk bank yang likuiditasnya ketat, pilihan menawarkan obligasi bisa jadi alternatif pendanaan. Namun, di tengah resiko pasar yang naik, tidak semua bank bisa terbitkan obligasi dan laku.
Bank kecil misalnya, cenderung konservatif. Mau terbitkan obligasi khawatir bunga nya juga mahal, dan segmentasi pembelinya terbatas. Jadi tidak semua bank bisa dengan cara terbitkan obligasi. Meskipun untuk bank buku 3 dan 4 relatif mudah.
Sinyal bank yang berlomba cari pendanaan alternatif jelas menunjukkan DPK sedang melambat. Beberapa bank khawatir repatriasi dana tax amnesty kembali keluar dari bank paska kontrak wajib pajak dengan pemerintah berakhir. Ini juga perlu diantisipasi pemerintah agar likuiditas bank tetap aman
"Artinya penurunan bunga acuan kali ini efektivitasnya relatif kecil bagi stimulus pertumbuhan kredit maupun pertumbuhan ekonomi," jelas dia.
Halaman Selanjutnya
Halaman