Gara-gara Corona, Nasib Perbankan AS Ada di Ujung Tanduk

Gara-gara Corona, Nasib Perbankan AS Ada di Ujung Tanduk

Vadhia Lidyana - detikFinance
Selasa, 14 Jul 2020 09:48 WIB
Bendera Amerika Serikat AS
Foto: Dok. Anadolu Agency
Jakarta -

Tahun 2020 menjadi tahun terburuk bagi perbankan kelas dunia di Amerika Serikat (AS). Pengangguran massal, lonjakan kebangkrutan, krisis kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta suku bunga yang mendekati angka nol mempertaruhkan nasib perbankan AS.

Laba bank kelas dunia seperti JPMorgan Chase (JPM), Bank of America (BAC), dan Citigroup (C) diprediksi anjlok hingga 50% di kuartal II-2020. Sementara, Wells Fargo (WFC) diprediksi mengumumkan kerugian di kuartal I-2020 dan memangkas dividen. Secara keseluruhan, Wall Street atau distrik keuangan di Kota Manhattan, New York itu bersiap-siap menghadapi kondisi terburuk setelah bank-bank tersebut menyampaikan laporan keuangan perusahaan pekan ini.

Penggerak terbesar dari penyusutan laba atau kerugian langsung pada bank Wells Fargo menunjukkan fakta bahwa bank sedang bersiap untuk menghadapi tumpukan pinjaman yang 'beracun' atau berisiko tinggi mengalami kegagalan karena pandemi virus Corona (COVID-19).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dilansir CNN, Selasa (14/7/2020), Bank of America (BAC), JPMorgan, Citi, Wells Fargo, dan US Bancorp (USB) secara kolektif telah mengeluarkan dana US$ 35 miliar atau sekitar Rp 500 triliun (kurs Rp 14.300) untuk meredam pinjaman yang berujung gagal.

Dampaknya ini juga berimbas pada Corporate America yang mengalami kebangkrutan, termasuk perusahaan-perusahaan seperti Hertz, J.Crew, Chesapeake Energy, dan Brooks Brothers.

ADVERTISEMENT

Sejumlah analis ekonomi AS sepakat bahwa bank harus meningkatkan cadangan likuiditas untuk menutupi kerugian perusahaan-perusahaan di AS. Namun, pertanyaannya seberapa banyak dan juga seberapa lama yang dibutuhkan?

"Kondisi ini akan menjadi sangat buruk (bagi perbankan)", kata analis perbankan Edward Jones, Kyle Sanders.

S&P Global Ratings pekan lalu sudah memperingatkan bahwa bank-bank di seluruh dunia pada akhirnya akan menderita kerugian kredit sekitar US$ 2,1 triliun atau sekitar Rp 30.000 triliun di tahun 2020 ini atau tahun depan.

Di luar kebangkrutan dan pengangguran yang tinggi, profitabilitas bank dihancurkan oleh suku bunga yang sangat rendah. Pasalnya, bank memperoleh pendapatan dari selisih antara bunga yang dibebankan pada pinjaman dan apa yang dibayarkan pada deposito. Saat ini, selisih itu sangat tipis yang mengakibatkan bank sulit memperoleh keuntungan.

Apalagi, bank sentral AS Federal Reserve atau The Fed telah memberikan sinyal untuk mempertahankan suku bunga 0% lebih lama lagi.

Hal tersebut mengakibatkan harga saham bank-bank AS jatuh terpuruk. KBW Bank Index (BKX) telah kehilangan lebih dari sepertiga nilainya tahun ini, tertinggal jauh dari penurunan 2% untuk S&P 500 pada tahun 2020.

Nilai saham Wells Fargo telah turun 54% sepanjang tahun 2020. Lalu, harga saham bank-bank super-regional seperti PNC (PNC) dan Bancorp AS telah anjlok sekitar 40% masing-masing. Keduanya diperkirakan akan mencatat penurunan tajam pada pekan ini.

Selain kondisi yang menavigasi pasar, bank juga bergulat dengan meningkatnya kasus Corona di negara bagian Sun Belt termasuk Texas, Arizona dan Florida.

Menurut analisis Morgan Stanley, Bank of America memiliki deposito sebesar US$ 591 miliar di 50 negara teratas di seluruh AS yang telah mencatat rekor kasus Corona terbaru selama satu bulan terakhir. Begitu juga dengan JPMorgan (US$ 427 miliar), Wells Fargo (US$ 389 miliar), dan US Bancorp (US$ 151 miliar). Angka tersebut menunjukkan bahwa bank-bank di atas punya pengaruh yang sangat besar terhadap nasib dolar AS.



Simak Video "Video: Momen Teume Nobar TREASURE di Area Outdoor Allo Bank Festival 2025"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads