Pandemi COVID-19 yang telah memporak-porandakan ekonomi RI diperparah dengan munculnya berbagai kasus investasi yang gagal bayar. Kali ini ada lagi kasus gagal bayar yang menimpa nasabah PT Indosterling Optima Investa (IOI).
Perkara ini merupakan gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil 9% hingga 12% setiap tahunnya. Karena gagal bayar, perkara ini berlanjut melalui permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
"Kalau menurut PKPU, nasabah Indosterling mencapai 1.200-2.000 orang, dengan total dana dihimpun kurang lebih Rp 2-3 triliun. Tapi berdasarkan terlapor bilangnya Rp 1,99 triliun," kata Pengacara sejumlah nasabah IOI, Andreas saat dihubungi detikcom, Minggu (15/11/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengacara dari Kantor Hukum Eternity Global Lawfirm itu menaungi 58 nasabah IOI dengan total kepemilikan dana di produk investasi HYPN sebanyak Rp 95 miliar.
Klien Andreas memilih tidak ikut dalam PKPU. Mereka memilih jalur pidana dengan melaporkan ke Bareskrim Polri sejak 6 Juli 2020. Ada 3 pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean William Hanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris.
"PKPU sudah putus cuma klien saya itu tidak ikut di PKPU-nya. Mereka lebih memilih jalur pidana. Kalau PKPU kan bisa aset itu kalau pailit, kalau tidak ya akan lama. Mereka menawarkan pencairan kalau tidak salah 4-7 tahun. Klien saya tidak mau, mereka maunya sesuai perjanjian saja, atau minimal kembalikan sekian sisanya boleh pakai aset," terangnya.
Selain itu menurut informasi yang didapat Andreas ternyata IOI tidak memiliki izin dari BI maupun OJK.
"Berdasarkan kawan lawyer yang satu lagi katanya sudah bersurat ke BI dan surat itu sudah diberikan ke penyidik. Memang tidak ada izin, padahal dalam perjanjian mereka ada ditulis di pasal 6 huruf e dia memiliki segala jenis izin termasuk lembaga keuangan. Izinnya dia hanya perdagangan saja, kalau menghimpun dana kan gak bisa hanya itu," terangnya.
Andreas mengatakan, kemarin dia bersama kliennya kembali mendatangi Bareskrim Polri. Kedatangan mereka mempertanyakan status tersangka SWH (Sean William Hanley) selaku direktur IOI yang hingga kini belum ditahan.
"Justru saya diminta terus sama korban, pak ini bagaimana kok maling sendal ditangkap, sedangkan kami korban sampai miliaran rupiah sangat sulit. Pelaporan dari 6 Juli, tapi sudah tersangka," ucapnya.
Andreas dan kliennya sendiri pada 1 Oktober 2020 sudah mendatangi Bareskrim untuk mempertanyakan prihal yang sama. Ternyata status tersangka ditetapkan pada 30 September 2020.
"Yang kami laporkan itu PT-nya terus turut terlapornya SWH dan JBP. Tapi yang kami dapat informasi yang sudah tersangka SWH," terangnya.
Untuk itu, klien Andreas meminta 3 hal, pertama mereka meminta gelar perkara khusus terkait tersangka tidak ditahan. Kedua meminta aset tersangka disita dan ketiga meminta pihak berwenang untuk mencekal tersangka.
"Minta diblokir imigrasi, karena yang dikhawatirkan melarikan diri. Tersangka ini memang masih di dalam negeri, katanya dibilang tidak ditahan karena kooperatif, mereka mempertanyakan itu," ucapnya.
Perkara ini merupakan gagal bayar untuk produk Indosterling High Yield Promissory Notes (HYPN). Produk investasi ini menjanjikan imbal hasil 9% hingga 12% setiap tahunnya.
Karena gagal bayar, perkara ini berlanjut melalui permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
"Kalau menurut PKPU, nasabah Indosterling mencapai 1.200-2.000 orang, dengan total dana dihimpun kurang lebih Rp 2-3 triliun. Tapi berdasarkan terlapor bilangnya Rp 1,99 triliun," terang Andreas.
Pengacara dari Kantor Hukum Eternity Global Lawfirm itu menaungi 58 nasabah IOI dengan total kepemilikan dana di produk investasi HYPN sebanyak Rp 95 miliar.
Klien Andreas memilih tidak ikut dalam PKPU. Mereka memilih jalur pidana dengan melaporkan ke Bareskrim Polri sejak 6 Juli 2020. Ada 3 pihak yang dilaporkan yakni PT IOI, SWH (Sean William Hanley) selaku direktur dan JBP (Juli Berliana Posman) selaku komisaris.
"Kalau PKPU kan bisa aset itu kalau pailit, kalau tidak ya akan lama. Mereka menawarkan pencairan kalau tidak salah 4-7 tahun. Klien saya tidak mau, mereka maunya sesuai perjanjian saja, atau minimal kembalikan sekian sisanya boleh pakai aset," terangnya.
Mengenai hal tersebut, pihak terlapor belum mau berkomentar ketika dihubungi detikcom. Hanya saja, melalui kuasa hukumnya mereka berencana memberi penjelasan besok.
(das/fdl)